Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opu Daeng Risaju, Perempuan Emas yang Paling Dicari Belanda di Masanya

Opu Daeng Risaju, Perempuan Emas yang Paling Dicari Belanda di Masanya, Singa betina, macan betina, perempuan besi

Oleh Fitriani S.I.P (UPT SD Negeri 180 Takkalala)

Penulis    : Idwar Anwar
Ukuran    : 13,5 x 20 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah    : 520 hlm

Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Nama kecil Opu Daeng Risaju  adalah Famajjah. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di Kerajaan Luwu. Dengan ini Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dari keluarga Kerajaan Luwu. Beliau dilahirkan di Palopo pada Tahun 1880. 

Ayahnya bernama Muhammad Abdullah To Bareseng dan ibunya bernama Opu Daeng Mawellu. Darah kebangsawanan Famajjah diperolehnya dari ibunya, yang merupakan keturunan langsung (cicit) Raja Bone XXII La Temmasonge Matimoeri Malimongeng yang memerintah dari tahun 1749-1775. Dari garis silsilah, Opu Daeng Risadju adalah seorang bangsawan dari lapisan masyarakat. 

Opu Daeng Risaju  sejak kecil  sudah banyak belajar tentang Ilmu agama dan budaya.  Karena beliau hidup dilingkungan  bangsawan, beliau juga belajar nilai-nilai moral dan tingkah laku.Saat dewasa, Famajjah dinikahkan dengan seorang ulama dari Bone yaitu Haji Muhammad Daud yang merupakan anak dari rekan dagang ayahnya. Haji Muhammad Daud didaulat sebagai imam masjid istana Kerajaan Luwu karena menikahi anggota keluarga bangsawan. Ia juga dikenal memiliki pengetahuan luas mengenai agama Islam.

Atas dasar status sosialnya dalam masyarakat Luwu, Famajjah lantas mendapat titulahir baru setelah menikah dengan memakai nama Opu Daeng Risadju. Gelar Opu merupakan identitas luhur kebangsawanan diserahkan kepada seseorang yang telah menikah. Sebagai bangsawan, Opu Daeng Risadju mendapat tempat khusus dalam masyarakat.

Meskipun tidak menempati jabatan dalam kerajaan, tetapi gelar Opu yang disandang Opu Daeng Risadju menempati kedudukan terhormat di mata masyarakat Luwu. Dengan gelar tersebut memudahkan Opu Daeng Risadju dalam bergerak secara bebas kemanapun dan dapat menemui semua orang dari semua kalangan masyarakat.
Opu Daeng Risadju juga merupakan wanita yang aktif dalam Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Beliau kemudian mendirikan cabang PSII Palopo yang diresmikan pada 14 Januari 1930. 

Awalnya Opu Daeng Risadju menjadi anggota PSII Pare-pare. Ia lantas mendapat kepercayaan untuk memimpin PSII di Palopo.

Opu Daeng Risadju terpilih sebagai ketua PSII Palopo dalam rapat akbar yang dihadiri aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat, masyarakat umumnya, hingga pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng Risadju lakukan di PSII. Ini disebabkan karena pemerintahan Jepang melarang adanya kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk PSII. 

Opu Daeng Risadju mulai kembali aktif pada masa revolusi di Luwu. Revolusi ini diawali dengan kedatangan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Sulawesi Selatan yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. 

Pemberontakan terhadap NICA mulai terjadi pada saat tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Merasa tidak puas dengan ini, tentara NICA kemudian mendatangi masjid dan menginterogasi orang-orang di dalam Masjid. 

Akan tetapi, karena masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, NICA memutuskan untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Alquran. Melihat hal ini, para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA di Palopo untuk segera kembali ke tangsinya dan tidak berkeliaran di kota. Karena ultimatum ini tidak digubris oleh tentara NICA, timbullah konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dan para pemuda pada tanggal 23 Januari 1946. 

Konflik senjata ini kemudian merambat ke kota-kota lainnya di Palopo, salah satunya ialah kota Belopa tempat Opu Daeng Risadju tinggal. Peran Opu Daeng Risadju dalam perlawanan terhadap tentara NICA di Belopa sangatlah besar. Opu Daeng Risadju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA. 

Tindakan ini membuat tentara NICA kewalahan dan mengupayakan berbagai cara untuk menangkap dan menghentikan aksi Opu Daeng Risadju. Tentara NICA bahkan membuat pengumuman yang menyatakan bahwa pihak tentara NICA akan memberikan imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng Risadju yang kala itu sedang bersembunyi, baik dalam keadaan hidup atau pun mati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menggubris pengumuman tersebut. 

Opu Daeng Risadju kemudian tertangkap oleh tentara NICA di Lantoro dan dibawa menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 Km. Opu Daeng Risadju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo. Saat di Bajo, Opu Daeng Risadju mengalami penyiksaan oleh Kepala Distrik Bajo, Ladu Kalapita. Di sana, Opu Daeng Risadju dibawa ke sebuah lapangan dan dipaksa untuk berdiri tegap menghadap matahari.

Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Opu Daeng Risadju untuk menambah wawasan dan pengalaman pembangunan PSII. Dengan cara demikian, Opu Daeng Risadju membuka lebih banyak kesempatan untuk menghilangkan penjajahan dan mencapai kemerdekaan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat melalui gerakan nasional. Setelah Opu Daeng Risadju menghadiri konferensi PSII di Pare-pare ia lalu pergi ke Malangke untuk mendirikan cabang PSII di sana.

Kepemimpinan Opu Daeng Risadju ini lantas dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial Belanda di wilayah Luwu. Controleur Masamba akhirnya datang ke daerah Malangke dan menangkap menangkap Opu Daeng Risadju bersama sekitar 70-an anggota partai.

Mereka kemudian diangkut ke Masamba dengan dua mobil. Opu Daeng Risadju dituduh menghasut serta menyebarkan kebencian di lapisan masyarakat terhadap pemerintah.

Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjara oleh pemerintah kolonial karena masalah politik. Tindakan pemerintah kolonial bertujuan untuk mengurangi aktivitas Opu Daeng Risadju dan perkembangan PSII.

Upaya Belanda Batasi Ruang Gerak Opu Daeng Risadju

Upaya penahanan ternyata tidaklah efektif. Belanda lantas mempropaganda atau menggunakan golongan adat (bangsawan dan raja-raja) sebagai tameng untuk membekukan gerakan PSII.

Namun, upaya apapun yang dilakukan oleh kolonial Belanda mengalami kegagalan. Terbukti bahwa PSII mendapat sokongan yang besar dari masyarakat.

Tak hanya di situ, Opu Daeng Risadju bahkan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dari pihak Belanda dalam usaha propaganda partainya yang sekaligus merintis kemerdekaan bangsa Indonesia.
Opu bahkan ditentang oleh pemerintah kerajaan beserta adatnya, hal ini lantaran Dewan Adat berhasil dipengaruhi oleh Belanda. Opu Daeng Risadju pun kemudian dijatuhi sanksi adat karena menolak bujukan Datu dan para anggota dewan adat untuk menghentikan kegiatannya di PSII, lalu mendekati Opu Daeng Risadju yang kala itu berusia 67 tahun dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risadju, kemudian meletuskan senapannya dan mengakibatkan Opu Daeng Risadju jatuh tersungkur di antara kedua kaki yang masih berusaha menendangnya. Setelah penyiksaan itu, Opu Daeng Risadju kembali dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang mirip penjara darurat bawah tanah.

Akibat penyiksaan yang dilakukan Opu Daeng Risadju menjadi tuli seumur hidup. Opu Daeng Risadju kemudian dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan menjalani tahanan dan kembali ke Bua dan menetap di Belopa. Pada tahun 1949, setelah kedaulatan RI mendapat pengakuan, Opu Daeng Risadju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud. Dalam PSII pun Haji Abdul Kadir Daud tak lagi aktif sejak 1950 dan hanya menjadi sesepuh di organisasi tersebut.

Opu Daeng Risadju mengehembuskan nafas terakhir di Palopo. Ia jatuh sakit selama dua tahun akibat pengaruh usia tua.

Opu meninggal pada 10 Februari 1964 dan dikebumikan di pemakaman raja-raja Lokkoe di Palopo. Pemakaman Opu Daeng Risadju tanpa adanya upacara kehormatan layaknya seorang pahlawan yang telah gugur dan meninggal dunia. Penetapan Gelar Pahlawan Opu Daeng Risadju.

PESAN YANG DAPAT DI PETIK 

OPU DAENG RISAJU adalah sosok wanita yang sangat luar biasa yang dimana rela mempertaruhkan keluaraga, harta benda, bahkan darah beliau. Semangat juang dan pengeorbanan itulah yang perlu kita teladani di masa kini agar Indonesia dapat menjadi bangsa yang di segani oleh dunia dan berdiri di atas kaki sendiri. 

Kisah perjuangan Opu Daeng Risaju khususnya dikalangan perempuan  yang sering kali berada di ambang batas menyerah, meskipun harus kehilangan gelar kebansawanangnya  dan harus masuk penjara berkali-kali. Beliau  adalah perempuan yang tangguh yang tak kenal menyerah pada penindasan dan kezaliman.

Opu Daeng Risaju menunjukkan perjuangan gigih di kancah pergerakan politik untuk kemerdekaan.
Opu Daeng Risaju menguraikan definisi cantik dalam bentuk keteguhan belajar, melawan penjajah, dan memperjuangakan keberagaman untuk kesetaraan yang humanis.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan jasa para pahlawannya. Itulah mengapa, sebagai bangsa Indonesia harus selalu mengenang jasa para pahlawan.

“seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan  segala bakti  yang dapat diamalkannya, itulah perempuan yang patut disebut sebagai” ibu”  dalam arti sebenarnya.” R.A KARTINI 

Dapatkan bukunya di: www.pustakasawerigading.com