BRICS Literature Award, Denny JA, dan Penyegaran Dunia Sastra (Merespons Nominasi Denny JA sebagai 10 nominator BRICS Litarature Award)

BRICS Literature Award, Denny JA, dan Penyegaran Dunia Sastra (Merespons Nominasi Denny JA sebagai 10 nominator BRICS Litarature Award)

Oleh: Muhammad Thobroni (Peneliti Universitas Borneo Tarakan, Indonesia)

Hadiah Nobel Sastra selama lebih dari seabad telah menjadi simbol supremasi pencapaian kesusastraan dunia. Namun, dalam dinamika global yang kian multipolar, muncul kebutuhan ruang alternatif yang lebih inklusif dan representatif terhadap keragaman budaya dunia non Barat. BRICS Literature Award hadir sebagai inisiatif strategis dari negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) untuk mengapresiasi pencapaian sastra lintas bahasa, budaya, dan sistem nilai di luar dominasi Euro-Amerika.  

Sejak didirikan tahun 1901, Hadiah Nobel Sastra telah menjadi penghargaan paling prestisius bagi para penulis dunia. Namun, kritik terus mengemuka bahwa lembaga tersebut cenderung bias terhadap karya berbahasa Eropa dan perspektif Barat. Dalam konteks geopolitik baru, munculnya BRICS Literature Award menandai perubahan arah dunia sastra internasional—yakni dari pusat menuju periferi, dari dominasi menuju dialog. BRICS sebagai blok ekonomi dan budaya kini tidak hanya menjadi kekuatan politik global, tetapi juga pusat pertumbuhan literasi, penerbitan, dan inovasi kultural yang pesat. Oleh karena itu, gagasan tentang BRICS Literature Award dapat menjadi seremoni penghargaan sekaligus simbol lahirnya tatanan sastra multipolar.

Nobel Sastra dianggap mencerminkan cita rasa universalitas. Namun, universalisme yang diklaim seringkali hanyalah bentuk baru dari hegemoni kultural Barat. Sebagian besar penerima Nobel berasal dari Eropa dan Amerika Utara, sementara karya dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin relatif jarang diakui kecuali ketika memenuhi selera estetika Eropa. Meminjam pendapat Spivak (1999), penghargaan semacam Nobel dapat menjadi jalan reproduksi “epistemic violence”, yakni kekerasan simbolik yang mengabaikan narasi-narasi lokal dan Bahasa minoritas. Dalam hal ini, BRICS Literature Award berpotensi menjadi proyek dekolonisasi sastra, menantang struktur dominan dan memperluas cakrawala representasi global. Penghargaan ini mengakui bahwa sastra global tidak tunggal, melainkan jaringan narasi yang tumbuh dari konteks sosial, bahasa, dan sejarah yang beragam. BRICS Literature Award berpotensi menggeser fokus dari “pusat estetika” Eropa ke “jejaring naratif dunia Selatan”.

Dalam beberapa perspektif, keberadaan BRICS Literature Award dapat membuka peluang penyegaran orientasi sastra dunia. Pertama, diversifikasi bahasa dan tradisi. Bahasa-bahasa seperti Mandarin, Hindi, Rusia, atau Portugis mulai menantang dominasi bahasa Inggris dan Prancis dalam wacana global. Kedua, reinterpretasi estetika. BRICS Literature Award memungkinkan munculnya estetika alternatif—seperti realisme spiritual, sastra rakyat, atau sastra ekologi—yang selama ini diabaikan oleh selera Eropa modernis. Ketiga, sastra sebagai diplomasi budaya. Penghargaan ini berfungsi sebagai instrumen diplomasi kultural, menguatkan solidaritas lintas negara Selatan dan membangun ruang dialog antarbudaya. Keempat, pemberdayaan penulis dari Dunia Non-Barat. BRICS Literature Award memberi legitimasi internasional kepada penulis yang tumbuh dari masyarakat pascakolonial, minoritas, atau daerah perbatasan, sehingga memperluas spektrum “kanon sastra dunia”.

Denny JA sebagai Nominator

Di Indonesia, kehadiran BRICS Literature Award disambut hangat dan lantas memicu dinamika dunia kesusastraan Indonesia yang dianggap sempat tidur, pingsan bahkan mati suri. Menghangatnya suhu perdebatan terutama dipicu oleh masuknya Denny JA ke dalam 10 Top Nominator BRICS Literature Award yang menandai tonggak baru bagi posisi sastra Indonesia dan kawasan ASEAN di panggung sastra dunia. Dalam konteks global yang mengalami pergeseran dari dominasi Barat menuju multipolaritas budaya, keterlibatan penulis dari negara berkembang seperti Indonesia menjadi simbol perubahan arah wacana sastra internasional. 

Masuknya Denny JA sebagai nominator BRICS Literature Award menghadirkan babak baru bagi sastra Indonesia sekaligus membuka peluang bagi ASEAN sebagai representasi kultural dunia Selatan. Momentum ini dapat dilihat dalam beberapa perspektif. Pertama, sebagai representasi negara berkembang, Indonesia memperlihatkan bahwa karya sastra tidak harus lahir dari pusat kekuasaan ekonomi untuk diakui secara global. Kedua, sebagai representasi ASEAN, kehadiran Denny JA memperluas cakrawala sastra BRICS agar tidak semata terfokus pada lima negara pendiri, melainkan membuka dialog kultural dengan kawasan Asia Tenggara. Hal itu sejalan dengan pandangan Ngũgĩ wa Thiong’o (2012) bahwa “dekolonisasi sastra tidak hanya menulis dengan bahasa sendiri, tetapi juga menuntut pengakuan dari sistem nilai yang berbeda.”

Denny JA dikenal sebagai penulis yang mengusung konsep “puisi esai”, yakni bentuk ekspresi sastra yang memadukan narasi, riset sosial, dan refleksi humanistik. Eksperimen tersebut menjembatani antara kesusastraan dan ilmu sosial, sehingga memperluas fungsi puisi sebagai ruang artikulasi nilai-nilai kemanusiaan kontemporer. Dalam konteks BRICS Literature Award, gaya dan gagasan Denny JA menghadirkan sintesis estetika dan etika baru: sastra merupakan ekspresi individual sekaligus praktik sosial yang berakar pada realitas politik dan moral masyarakat. Dengan latar Indonesia—negara multikultural, demokratis, dan berpenduduk terbesar di ASEAN—Denny JA membawa narasi khas Asia Tenggara yang jarang terdengar di forum global. Masuknya Denny JA ke daftar nominator BRICS memperlihatkan sastra Indonesia kini menjadi bagian perbincangan strategis dunia multipolar, sejajar dengan penulis-penulis besar dari India, Brasil, Rusia dan negara lain.

Nominasi juga memiliki makna politik kultural. ASEAN selama ini dikenal sebagai entitas ekonomi dan diplomasi dan mulai memperluas peran ke ranah diplomasi kebudayaan. Denny JA dapat dibaca sebagai duta sastra kawasan ASEAN yang dapat menghubungkan pengalaman sosial Asia Tenggara dengan wacana humanisme global. Dalam perspektif geopolitik sastra, BRICS Literature Award dapat menjadi strategi penyegaran sistem literer dunia, di mana kekuatan narasi tidak lagi dimonopoli oleh institusi Barat. Jika Nobel Sastra mewakili “pusat sejarah”, maka BRICS berpotensi menjadi “pusat masa depan”—di mana narasi dari Selatan (the narratives of the Global South) tampil sebagai sumber ide, moral, dan gaya baru dalam kesusastraan. Keterlibatan ASEAN melalui Indonesia memperluas jejaring ini sehingga mempertemukan tradisi lisan Melayu dengan realisme magis Brasil, spiritualitas India, dan humanisme Afrika. Ini merupakan jaringan naratif lintas benua yang dapat melahirkan estetika global baru—plural, dialogis, dan berbasis kemanusiaan.

Kehadiran nominator dari Indonesia seperti Denny JA memberi peluang strategis bagi penyegaran sastra dunia dalam beberapa hal. Pertama, diversifikasi estetika global. Tradisi puisi esai menghadirkan bentuk ekspresi yang menggabungkan intelektualitas dan empati sosial, memperkaya peta bentuk sastra dunia. Kedua, dekolonisasi kriteria penghargaan sastra. Dengan BRICS sebagai ruang alternatif, penilaian sastra tidak lagi dikurung oleh parameter estetika Eropa modernis. Ketiga, kolaborasi lintas budaya. Masuknya Indonesia membuka peluang kerja sama sastra ASEAN–BRICS, termasuk penerjemahan, festival, dan residensi penulis lintas negara. Keempat, kebangkitan literasi Dunia Selatan. BRICS Literature Award menjadi simbol solidaritas budaya global yang menegaskan sastra merupakan bagian dari perjuangan peradaban bukan sekadar produk estetis.

Penyegaran Dunia Sastra

Puisi esai merupakan bentuk sastra baru yang lahir dari sintesis antara ekspresi estetika dan refleksi rasional. Di Indonesia, bentuk yang dipelopori oleh Denny JA sebagai upaya menautkan seni, ilmu sosial, dan nilai kemanusiaan. Fenomena ini memberi penyegaran bagi dunia kesusastraan sekaligus medium demokratisasi wacana, humanisasi masyarakat, dan penguatan rasionalitas publik. 

Sastra selalu berkembang mengikuti dinamika zaman. Modernisme menekankan bentuk dan estetika, posmodernisme menonjolkan relativitas makna, dan puisi esai menghadirkan paradigma baru berupa perpaduan antara keindahan dan kebenaran, antara emosi dan rasio. Puisi Esai sebagai karya telah menempatkan sastra sebagai ruang reflektif dan argumentatif sekaligus (Denny JA, 2012). Puisi esai dapat dianggap menolak dikotomi lama antara seni dan pengetahuan. Ia mengakui bahwa keindahan dapat bersatu dengan gagasan sosial, politik, dan kemanusiaan. Bentuk ini memberi daya dorong penyegaran estetika dan demokratisasi sastra yang membuka akses bagi publik untuk memahami realitas melalui bahasa puitik yang rasional.

Puisi esai menantang tradisi lirisisme murni dalam sastra Indonesia. Struktur naratifnya lebih terbuka dan berpijak pada riset sosial, sejarah, serta isu kemanusiaan aktual. Estetika dalam puisi esai bukan lagi semata harmoni bunyi dan metafora, tetapi juga keindahan argumen dan kedalaman empati. Secara estetis, puisi esai telah menawarkan beberapa konsep penyegaran dunia sastra. Pertama, menggabungkan fakta dan imajinasi menjadi struktur naratif yang plural. Kedua, menawarkan gaya reflektif dan komunikatif yang bukan elitis dan eksklusif. Ketiga, memperluas fungsi puisi dari ekspresi perasaan menjadi ruang pengetahuan dan kritik sosial. Puisi esai menjadi antitesis sekaligus evolusi dari tradisi modernis yang cenderung individualistik, dan membuka jalan bagi sastra yang lebih dialogis serta humanistik.

Selain itu, puisi esai telah membawa misi demokratisasi sastra dalam tiga level. Pertama, demokratisasi bentuk. Puisi esai menembus batas antara puisi dan prosa, membuka peluang bagi siapa pun untuk menulis tanpa takut “tidak puitis”. Kedua, demokratisasi tema. Puisi esai mengangkat isu-isu public seperti korupsi, kemiskinan, pluralisme, sampai hak asasi manusia, sehingga menjadikan sastra sebagai sarana literasi politik dan sosial. Ketiga, demokratisasi pembaca. Dengan bahasa yang komunikatif dan naratif, puisi esai dapat dinikmati oleh khalayak luas, bukan hanya kalangan akademisi atau penyair elitis. Puisi esai berfungsi seperti forum demokrasi budaya—sebuah panggung ide, empati, dan kritik bersatu dalam bahasa yang memanusiakan, serta menggeser sastra dari ruang menara gading menuju ruang partisipatif publik.

Puisi esai telah menempatkan manusia sebagai pusat refleksi, bukan sebagai objek estetika semata. Setiap kisah atau tokoh yang diangkat menjadi cermin kondisi moral dan sosial masyarakat, baik di Indonesia maupun dunia. Melalui perpaduan fakta dan refleksi, puisi esai mengajarkan rasionalisasi empati—yakni bagaimana manusia berpikir dengan hati dan merasa dengan pikiran. Dalam konteks kebudayaan modern yang kerap terjebak dalam polarisasi, bentuk ini mengembalikan fungsi sastra sebagai sarana humanisasi, menumbuhkan kesadaran moral dan toleransi lintas identitas.

Lebih dari itu, meminjam pendapat Habermas (1984), puisi esai telah menjadi jalan komunikasi rasional yang merupakan dasar kehidupan sosial yang adil. Puisi esai dapat dibaca sebagai praktik komunikasi rasional-estetik yang mengedukasi masyarakat tanpa menggurui sekaligus menggerakkan nurani tanpa propaganda.

Pada level global, puisi esai juga hadir memberikan penyegaran. Pertama, dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan. Puisi esai telah memperluas batasan sastra yakni menumbuhkan ekosistem baru di mana seniman, peneliti, dan masyarakat dapat berdialog melalui karya. Di tingkat ASEAN, bentuk ini berpotensi menjadi genre sastra lintas budaya yang menjembatani tradisi lisan, riset sosial, dan modernitas digital. Kedua, dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam politik, puisi esai berperan sebagai soft power budaya yang mengedepankan etika dan rasionalitas public, sekaligus membangun narasi kebangsaan yang inklusif, menolak ekstremisme dan intoleransi. Dalam ekonomi kreatif, puisi esai memperluas industri literasi yakni memunculkan penerbitan, film, hingga konten digital yang bernilai ekonomi dan edukatif. Bentuk ini menjadi inovasi ekonomi berbasis budaya yang menopang pembangunan berkelanjutan.

Ketiga, dalam bidang pertahanan dan keamanan (hankam). Pertahanan modern tidak hanya bersenjata, tetapi juga berbasis narasi dan kesadaran budaya. Puisi esai telah menjadi bagian dari strategi pertahanan non-militer—menguatkan identitas bangsa, memperkokoh nasionalisme, dan menumbuhkan imunitas kognitif terhadap disinformasi dan radikalisme. Keempat, dalam bidang perdamaian dan diplomasi global. Di tingkat global, puisi esai menyumbangkan bahasa kemanusiaan universal, yakni mampu menyatukan pandangan lintas agama, ras, dan bangsa melalui empati rasional. Dalam kerangka BRICS dan ASEAN, genre ini dapat menjadi alat diplomasi budaya untuk memperkuat solidaritas Dunia Selatan dan mengedepankan nilai perdamaian. Puisi esai membawa gagasan bahwa sastra merupakan hiburan intelektual sekaligus bahasa universal perdamaian—sebuah diplomasi yang melampaui batas politik. Denny JA menyatakan, “Puisi esai adalah upaya menghadirkan kebenaran yang indah dan keindahan yang benar.” Kalimat itu merangkum esensi bahwa puisi esai merupakan genre sekaligus gerakan intelektual dan moral untuk menegakkan kemanusiaan di tengah dunia yang terus berubah.


Pada akhirnya, BRICS Literature Award merupakan penghargaan sastra sekaligus panggung peradaban baru yang lahir di tengah dunia yang letih oleh sentralisasi makna, oleh sejarah yang terlalu lama berputar di Eropa dan Amerika. Kini, suara-suara dari Selatan—dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin—mulai menggema. Dari gang sempit Mumbai, dari kafe sunyi São Paulo, hingga dari kampung sastra di Jakarta yang hangat dengan aroma kopi dan suara dangdut di kejauhan, dunia mendengar nada lain yakni nada yang lebih membumi, lebih egaliter, dan lebih manusiawi.

Masuknya Denny JA sebagai nominator dari Indonesia dalam ajang BRICS Literature Award menjadi simbol bahwa sastra bukan lagi milik menara gading, melainkan milik pasar malam kehidupan. Di tangan Denny JA, puisi esai menjadi lagu dangdut intelektual—lirih sekaligus lantang, sederhana namun sarat makna. Puisi esai telah menyatukan fakta dan perasaan, riset sosial dan lenggak-lenggok emosional, seperti irama koplo yang menari di atas puing-puing teori estetika lama. 

Fenomena lagu dangdut mengajarkan kepada kita sesuatu yang mendalam bahwa keindahan tidak selalu lahir dari kesunyian elit, melainkan dari denyut rakyat. Dangdut merupakan  bahasa demokrasi budaya yang menolak dikotomi tinggi dan rendah, klasik dan populer. Begitu pula dengan puisi esai ciptaan Denny JA yang menghidupkan kembali fungsi sosial sastra, menurunkan puisi dari altar abstrak ke panggung manusia, mengizinkan seni berbicara dalam dialek keseharian yang rasional dan empatik.

Di titik inilah, BRICS Literature Award dan puisi esai bertemu dalam satu arus besar sejarah yaitu arus dekolonisasi estetika. Keduanya membuka pintu bagi sastra untuk bernyanyi dalam banyak bahasa, menari dalam banyak irama, dan berpikir dalam banyak cara. Dunia sastra menemukan kembali wajahnya yang plural. BRICS menghadirkan pentasnya. Denny JA menyiapkan nadanya. 

Jika Nobel selama ini ibarat konser simfoni klasik di ruang teater berlapis emas, maka BRICS Literature Award hadir sebagai panggung dangdut global mana kesenian berinteraksi langsung dengan publiknya—merakyat, terbuka, dan penuh improvisasi. Di sana, puisi dan lagu bersatu, logika dan rasa berdialog, akademisi dan pedagang kaki lima berdiri di panggung yang sama. Dunia sastra butuh keheningan sekaligus tepuk tangan massa, tawa, dan air mata. Ia harus hidup di tengah rakyatnya seeprti lagu-lagu dangdut yang menulis kehidupan lebih cepat dari koran pagi. Di sinilah penyegaran sastra menemukan bentuknya—bukan dengan meniru Barat, melainkan dengan menari dalam irama sendiri.

Maka ketika Denny JA menulis puisi esai dan BRICS mengakui keberanian itu, kita sedang menyaksikan kembalinya sastra kepada akar kemanusiaannya. Dunia telah membaca, mendengar dan ikut bernyanyi. Sastra pun menemukan kembali suaranya di panggung terbuka mana kata menjadi melodi, dan penulis  menyapa dunia dengan senyum egaliter, sembari berpuisi “Ini suara kami/ suara yang berpikir/  suara yang menari/ suara yang memanusiakan.” Dari panggung itulah, Indonesia, ASEAN, dan Dunia Selatan mengumandangkan nada baru sastra dunia bahwa estetika sejati bukan hanya soal indah, melainkan soal adil, sadar, dan hidup.

Tarakan, 2025