Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Luwu, La Galigo dan Revitalisasi Budaya (Refleksi Hari Jadi Luwu, 21 Januari)

Oleh Idwar Anwar

Bermula ketika, Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong, Sangiang Mpajung dan Balasanriuq dipanggil oleh PatotoE (Sang Pencipta): “Dari mana saja kalian? Sudah tiga hari tiga malam lamanya tak menampakkan diri di Boting Langiq”.

“Ampuni kami. Laksana kulit bawang tenggorokan ini, semoga ucapan kami tidak menimbulkan kebohongan dan tak terkutuk jika kami menjawab pertanyaan Puang. Kami baru saja datang dari kolong langit, di tepi Pérétiwi. Di sana kami menebar badai, mengadu petir, memperlagakan guntur, menyabung kilat, dan menyalakan api dewata.  Namun, tak ada sama sekali yang menyeru kepada Batara, atau menadahkan tangan ke Pérétiwi. Karena itu, mungkin sebaiknya Puang menurunkan seorang keturunan untuk mengisi Alé Lino (bumi) agar dunia tidak kosong dan permukaan bumi jadi ramai. Selama tak ada mahluk di kolong langit, di permukaan Pérétiwi, yang menyeru kepada Batara, engkau bukanlah dewata.” jawab Ruma Makompong yang diiyakan ketiga saudaranya.

Akhirnya, setelah berunding dengan permaisurinya, Datu Palingeq, disepakatilah Batara Guru untuk turun ke Dunia Tengah. Kesedihan merayapi Botting Langiq, tidak terkecuali Batara Guru. Suara tangis menggema. Dan sejak itu pula Batara Guru diselimuti kesedihan yang luar biasa.

Namun, untuk mengurangi kesedihan Barata Guru, PatotoE meminta Guru ri Selleng untuk mengirimkan putrinya untuk menjadi Permaisuri Batara Guru. Guru ri Selleng menyetujui maksud kakak iparnya itu, Dan sebagai pasangan Guru ri Selleng pun mengirim We Nyiliq Timoq untuk menemani dan menjadi permaisuri Batara Guru serta melahirkan keturunan yang kelak akan menjadi cikal bakal raja-raja.

Dari perkawinan Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, lahirlah Batara Lattuq yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa di Luwu. Batara Lattuq, lalu menikah dengan We Datu Senggeng, anak La Urungpessi dan We Padauleng. Dari perkawinan ini lahirlah Sawerigading (laki-laki) dan We Tenriabeng (perempuan) yang merupakan saudara kembar. Kelak Sawerigading jatuh cinta pada Tenriabeng. Dari sinilah sebuah perjalanan kisah cinta Sawerigading yang menakjubkan bermula, sampai ia mendapatkan We Cudai. Dari perkawinan Sawerigading dengan We Cudai, melahirkan I La Galigo, We Tenridio dan We Tenribalobo.

 

Sebuah Karya Sastra Terpanjang di Dunia

Kisah di atas adalah sepenggal cerita yang termuat dalam kitab La Galigo. Kisah-kisah tersebut dalam perkembangannya oleh para pakar telah ditinjau dari berbagai perspektif, antara lain sebagai karya sastra bahkan ada juga yang menganggapnya sebuah tulisan sejarah, sebab di dalamnya juga termuat silsilah raja-raja Luwu yang merupakan cikal bakal berbagai kerajaan, utamanya di Sulsel ini.  Namun terlepas dari semuanya, La Galigo telah menempatkan dirinya sebagai sebuah karya yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya, bahkan memberikan dampak dalam kehidupan masyarakat Sulsel hingga saat ini.

R.A. Kern dalam bukunya Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek Leiden (1939: 1) bahkan menempatkan La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia. Kenyataan ini pula diungkapkan Sirtjof Koolhof  pada pengantarnya dalam buku I La Galigo yang diterbitkan atas kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Penerbit Djambatan. (1995 : 1) bahwa panjang La galigo mencapai lebih 300.000 baris. Sementara Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara 160.000-200.000.

Keunggulan La Galigo sebagai karya sastra bukan hanya dalam bentuk tulisan, namun juga telah menyebar dalam bentuk lisan ke berbagai daerah, sebab terbukti tokoh utama dalam La Galigo, Sawerigading, secara mitologis dikenal pada berbagai etnik di Sulawesi, Kalimantan, Semenanjung Malayu, Semenanjung Indocina, dan di berbagai daerah lainnya.

 

Apresiasi dan Generasi yang Hilang

Peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam La Galigo bagaikan suatu pertunjukan tentang suasana kehidupan manusia beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman. Kenyataan ini menandakan bahwa La Galigo di samping fungsinya sebagai karya sastra yang memiliki estetika yang tinggi, juga mempunyai kemanfaatan sebagai sarana komunikasi budaya dari generasi ke generasi.

Namun, apa yang terjadi dewasa ini, akibat desakan yang kuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi, masyarakat Luwu perlahan-lahan mulai kehilangan jejak masa lalunya. Buku-buku yang mengangkat tentang Sejarah dan Kebudayaan Luwu pun sangat minim. Banyak yang telah hilang pada generasi saat ini. Rangkaian cerita La Galigo boleh dikata tak lagi dikenal oleh masyarakat pendukungnya, khususnya di Luwu. Hanya segelintir masyarakat Luwu, khususnya generasi muda, yang tahu tentang cerita La Galigo atau sejarah dan kebudayaan Luwu.

Kenyataan ini, ditambah lagi oleh pola pendidikan yang diterapkan pemerintah selama ini (selama Indonesia merdeka, terlebih masa Orde Baru) ternyata telah memasung kebudayaan-kebudayaan lokal untuk berkembang. Apalagi kondisi ini didukung pula oleh pemerintah setempat yang juga tidak apresiatif terhadap pendidikan yang bermuatan lokal di daerahnya.

Puluhan tahun, sejarah dan kebudayaan lokal (Luwu) terpasung, hingga terus menghilang dari memori masyarakat pendukungnya. Apa yang kita saksikan dalam buku-buku pelajaran yang bertebaran, mulai SD sampai Perguruan Tinggi, hanyalah budaya-budaya luar. Karya sastra yang kita tahu, hanyalah kisah Mahabarata, kisah Ramayana, atau kisah cinta Romeo dan Juliet-nya Williem Shakespear. Atau tentang kisah-kisah seperti Malingkundang, Dewi Sri sang Putri Padi ---yang masyarakat kita pun akhirnya meyakini sebagai sebuah kisah mulai munculnya tanam yang bernama padi---, serta beberapa kisah lainnya. Atau bahkan cerita-cerita modern saat ini.

Hanya segelintir yang tahu bahwa kisah itu juga ada dalam La Galigo. Bagaimana ketangguhan dan kisah cinta Sawerigading yang sangat heroik, atau tokoh-tokoh lain dalam cerita La Galigo, yang boleh jadi melebihi kisah, Ramayana, Mahabarata, serta Romeo dan Juliet. 

Lantas, apresiasi apa yang diharapkan dari sebuah generasi yang telah kehilangan identitas budaya dan jejak sejarahnya? Generasi saat ini bahkan lebih menghapal Rama dan Shinta dari pada Sawerigading dan I We Cudai atau We Tenriabeng. Batara Guru yang diyakini merupakan manusia pertama di dunia Bugis yang turun di Luwu atau I La Galigo hanya dikenal sebagai nama museum.

Olehnya itu, peran La Galigo sebagai sarana komunikasi budaya dari generasi ke generasi, seharusnya kembali dihidupkan. Pemberian mata pelajaran muatan lokal, seharusnya segera diwujudkan dalam berbagai bentuk. Sebab langkah ini akan menjadi alat komunikasi yang nantinya juga akan diwariskan ke generasi selanjutnya.


Luwu dan Revitalisasi Budaya?

Wanua Mappatuo, Naewai Alena, bukanlah hanya sekedar ungkapan yang kosong tanpa makna. Semboyan ini juga bukan hanya sekedar semboyang yang mengarah pada bentuk-bentuk materialis, namun juga merupakan sebuah ungkapan yang mengintegrasi dalam sebuah lingkup kebudayaan.

Ini berarti bahwa selain mampu menghidupi masyarakatnya dalam bentuk materialis, seperti makanan, minuman dan tempat tinggal, Luwu juga seharusnya mampu menghidupi dan menjaga masyarakatnya dengan sebuah akar kebudayaan yang kuat, yang meskipun angin teknologi dan informasi bertiup kencang, akan tetap berdiri kokoh.  Jepang merupakan salah satu negara yang berhasil membangun teknologinya dengan berlandaskan pada akar budayanya.

Tapi apa yang terjadi, Luwu selama ini seperti tenggelam. Hampir tak ada lagi tanda-tanda bahwa daerah ini dulunya merupakan sebuah kerajaan besar, dan merupakan cikal-bakal kerajaan-kerajaan, khususnya di Sulsel. Akar budaya Luwu seperti tercerabut, bahkan tenggelam dalam arus budaya yang semakin kuat.

Lantas, sejauh mana kita memahami konsepsi kehidupan bermasyarakat dengan berbagai unsur-unsurnya dalam La Galigo? Bagaimana masyarakat Luwu, khususnya, mampu bangkit merefleksikan dan mengangkat kembali nilai-nilai kultural, khususnya yang tertanam dalam karya sastra besar tersebut. Sebuah karya sastra yang tidak dapat lagi dipungkiri kebesarannya, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.  

Memang, saatnya kita perlu berbenah, sebab ancaman intervensi budaya telah begitu garang menerjang berbagai lapisan masyarakat kita. Di nusantara sendiri, kita bisa melihat bagaimana hegemoni budaya Jawa menerjang budaya-budaya lain, --dan bukan lagi dalam konteks dialog antar budaya--, melalui berbagai bentuk, seperti hegemoni bahasa.

Bukan berarti budaya Jawa tidak baik –sebab kita tidak bisa menempatkan suatu budaya dalam kerangka baik dan buruk--, namun bagaimana budaya Luwu (Bugis) mampu teraktualisasikan dalam masyarakatnya sendiri. Sebab sebuah kebudayaan akan hilang dengan sendirinya, jika masyarakat pendukungnya telah mulai menjauhinya. Olehnya itu, kesadaran akan kekayaan budaya sendiri sangat diperlukan dalam kerangka membangun sebuah komunitas yang mampu melihat dirinya sendiri dalam cerminannya sendiri.

Pemerintah Luwu (Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur), saat ini seharusnya semakin sadar akan pentingnya membangkitkan, menjaga dan melestarikan berbagai khazanah sejarah dan kebudayaan Luwu dalam masyarakatnya sendiri. Realitas kurangnya referensi tentang Sejarah dan Kebudayaan Luwu, merupakan salah satu point yang seharusnya juga menjadi salah satu bahan introspeksi pemerintah di Luwu Raya untuk ikut berperan aktif dalam membangkitkan, menjaga dan melestarikan berbagai khazanah sejarah dan kebudayaan Luwu. Sekarang bukan lagi era tradisi lisan, tetapi tradisi tulis.

La Galigo tidak akan mungkin bertahan hingga kini, jika saja tidak ada yang menuliskannya. Sebab, apalagi yang akan menjadi rujukan bagi generasi ke depan, jika referensi tentang Luwu saja mereka tak menemukannya. Belum lagi ditambah dengan kurangnya minat baca masyarakat (generasi muda), khususnya terhadap literatur sejarah dan budaya Luwu. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di masa depan dengan kondisi demikian.

 

Penulis Penyusun Ensiklopedi Sejarah Luwu dan Ensiklopedi Kebudayaan Luwu.

Tulisan ini telah dimuat di Tribun Timur 23 Januari 2005