Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antagonisme Politik di Indonesia


Oleh Idwar Anwar

Indonesia adalah sebuah negara yang besar. Sejarah panjang bangsa Indonesia merupakan catatan tersendiri bagi masyarakatnya dalam melihat tumbuh dan berkembangnya Indonesia di masa datang. Tapi, sejauh manakah Indonesia mampu memantapkan diri setelah hampir 56 tahun merdeka.

Indonesia saat ini adalah ibarat sebuah kapal besar yang berlayar ditengah lautan yang maha luas dengan tepi-tepi daratan yang belum juga menampakkan diri. Dan di tengah pelayaran itu, Indonesia memuat berbagai macam karakter manusia dari berbagai suku yang tersebar. Sebuah komunitas plural dalam sebuah wadah yang mulai reok.

Di tengah keretakan Indonesia, baik secara geografis maupun sosial, ternyata tidak membawa para pelaku-pelaku politik yang notabene mempunyai andil untuk terciptanya Indonesia yang kembali utuh, bergeming. Wajah Indonesia semakin kusut, ketika terpaan segala macam bentuk krisis bergitu dahsyat. Namun, siapa yang mau peduli?

Kasak-kusuk Sidang Istimewa yang sebentar lagi akan digelar  semakin memanas. Beberapa kalangan elite mulai mengelar konsolidasi untuk mematangkan siapa yang akan menjadi pengganti Gus Dur. Orang-orang Gus Dus juga tak mau kalah, melakukan konsolidasi untuk mempertahankan posisi. Bahkan sampai pada bentuk penggalangan massa, dan unjuk kekuatan.

Dilain pihak, beberapa pejabat dan orang-orang penting mulai diperiksa. Dan sebaliknya mereka yang merasa terancam ini juga terus mengumpulkan data-data untuk meyakinkan ketidaklibatan mereka dengan apa yang dituduhkan. Bahkan untuk memperkuat data-data, mereka terus menunda pemeriksaan dengan menggunakan berbagai alasan, misalnya,  sakit.

Fenomena ini, bukanlah sebuah lelucon dalam buku-buku komik dengan tokoh-tokoh konyolnya. Tapi sebuah lelucon dari sebuah negara yang bernama Indonesia, dengan para elite-elitenya. Para elite ini  memang bukanlah pelawak yang dapat membuat orang terpingkal-pingkal saat manggung, seperti Srimulat atau Bagito, tapi yang pasti, lelucon yang  mereka tawarkan akan menjadi sebuah tontonan yang menarik untuk disimak, terlebih jika review serial Indonesia dari masa ke masa.

Serial pertama. Ketika Soekarno jatuh dari tampuk kekuasaannya setelah berkuasa selama kurang lebih 25 tahun. Soeharto datang dengan segala macam bentuk kebijakannya yang pada gilirannya mengutuk apa yang terjadi selama kepemimpinan salah satu the founding father Republik ini. Banyak cecunguk, tiba-tiba muncul jadi pahlawan dan menduduki kursi yang empuk.

 

Serial kedua. Dalam perjalanan kekuasaannya, kerajaan  yang dipimpin oleh Soeharto melakukan proses-proses yang diajarkan oleh Niccolo Machiavelli dalam menghabiskan lawan-lawan politiknya. Desoekarnoisasi terus dilakukan sampai ke akar-akarnya.  Dunia politik berubah menjadi ladang pembantaian. Hanya sekitar delapan bulan (1966-1974) masyarakat merasakan kebebasan dengan kehidupan demokrasi multipartai seperti sekarang ini. Setelah  itu bangsa Indonesia pun jatuh ke dalam kubangan perangkap rezimentasi Orde Baru yang mematikan demokrasi. Kekuasaan Orba yang sentralistik dan personalisasi, dalam kungkungan otoriterianisme,  mengalami sakralisasi. Karena kejenuhan rakyat dengan model kepemimpinannya, akhirnya Soeharto pun jatuh dengan sangat tragis.

Serial ketiga. Habibie kemudian tampil dengan segala model liberalisasinya yang ternyata membawa dirinya pada sebuah jurang yang dalam. Pola kepemimpinan yang diterapkannya pun ternyata tidak pas untuk negara Indonesia yang memang telah hancur. Namun demikian ada satu hal yang menggembirakan bahwa ternyata hal tersebut telah memberikan angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Serial keempat. Setelah Habibie terdepak dari kekuasaan, Gus Dur terpilih sebagai Presiden setelah melalui pemilihan yang katanya paling demokratis. Tapi apakah kepemimpinan Gus Dur yang notabene berangkat dari sebuah kenyataan bahwa dirinya dianggap sebagai penyelamat bangsa (sebagai tokoh alternatif di antara Megawati dan Habibie) telah mempu  menyelamatkan tubuh Indonesia yang telah reok ini? Ternyata tidak. Pola kepemimpinan pesantren yang diterapkan Gus Dur menjadi kalang kabut menghadapi terpaan berbagai macam krisis dan perlawanan dari berbagai kalangan yang merasa dirugikan, tersingkirkan  dan terancam.

Apa yang dapat kita lihat dari berbagai serial di atas. Konflik individu dan kolektif merupakan catatan sejarah panjang bangsa Indonesia. Konflik yang kadang berujung pada politik berhamburan mayat. Konflik yang tetapi diselesaikan dengan kekejaman, dan pertumpahan darah.

Dan hingga kini, berbagai macam persoalan pun terus bermunculan. Perseteruan masih saja berlangsung. Banyak kalangan, baik individu maupun kelompok  yang mungkin merasa, dirugikan, tersingkirkan dan terancam memang terus melakukan perlawanan. Dengan berbagai macam cara, kelompok atau individu ini mengembangkan model pertahaman diri yang merupakan bentuk dari  struggle for life.

Antagonisme Politik

Pergumulan politik yang terjadi saat ini, jika ditilik dari sudut sosioligi politik, mempunyai akar yang panjang dan berbelit-belit. Kenyataan ini biasa disebut antagonisme politik. Sebuah realitas yang menempatkan sesuatu menjadi lawan dari sesuatu. Entah itu dalam mempertahankan kedudukan, merebut kekuasaan atau mempertahankan diri dari ancaman politik.

Dalam teori sosiologi politik Maurice Duverger, ia melihat bahwa antagonisme politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke dalam dua kategori, yakni bergerak pada tingkat individual , seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologis dan pada tingkat kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial dan faktor sosiokultural. Setiap kategori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Mari kita lihat sebab apa yang mempengaruhi  antagonisme politik para elite politik di Indonesia.

Sebab individu, menurutnya, dalam setiap komunitas manusia ditilik dari kecerdasan pribadinya, memang ada yang lebih berbakat dibanding yang lain dalam memimpin. Sedang secara psikologis, individu-individu tertentu cenderung mendominasi dari pada yang lain yang lebih cenderung pada kepatuhan. 

Meski teori-teori yang menganggap perbedaan-perbedaan individual di dalam bakat sebagai faktor primer dalam konflik-konflik politik sangat berbeda, akan tetapi mereka mempunyai satu titik kesepakatan yakni, beberapa individu lebih berbakat dari yang lain. Dan bahwa mereka yang kurang berbakat mencoba menghalangi kemunculannya.

Dalam teori-teori liberal persaingan ini pada hakikatnya didasarkan pada motif-motif ekonomi dan keinginan-keinginan diri sendiri. Sedangkan dalam pandangan kaum konservatif, individu yang paling berbakat lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan altruistik daripada pertimbangan ekonomi.

Sebab-sebab kolektif. Dalam konflik politik yang terjadi, pada dasarnya menurut kaum sosialis  mencerminkan perjuangan-perjuangan antarras, persaingan antar kelompok atau komunitas. Dalam konflik politik ini, kelompok-kelompok diorganisir sedemikian rupa untuk melawan kelompok lain.

Antagonisme politik yang menghasilkan berbagai konflik ini, yang berlangsung pada dua kategori yang dikemukakan Duverger, dalam kenyataannya di Indonesia memberikan kita gambaran yang jelas bahwa peristiwa tersebut kini sedang berlangsung. Pergumulan politik yang terjadi dan berputar di sekeliling kekuasaan, terjadi di antara individu-individu, pada satu pihak, dan antara  kelompok di lain pihak.

Perjuangan memperebutkan kekuasaan telah menempatkan individu-individu dalam sebuah medan pergumulan untuk saling memperebutkan, meminjam bahasa Duverger, potortopilio kabinet, kursi parlemen, pos untuk menjadi perfect, dan segala embel-embel kekuasaan lainnya. Dan yang lebih penting, terjaganya keamanan posisi dan harta yang telah digenggam selama ini.

Namun ironisnya, pertempuran individual ini, jika ada yang merasa terpojok, pada tataran komunal akan melipatgandakan konflik menjadi konflik universal antara kelompok di dalam masyarakat, seperti dimunculkannya konflik ras –yang terjadi di Sampit--, kelas, komunitas –tentang isu konflik Muhammadiyah dan NU-, lokal korporasi-korporasi, dan seterusnya.

Kenyataan ini, di Indonesia, merupakan hal yang sangat menyedihkan. Terjadinya  antagonisme politik tersebut ternyata belum mampu dijadikan sumber munculnya gagasan intergasi politik dalam membangun Indonesia di masa datang. Pertarungan terus terjadi dan korban pun terus berjatuhan. Dan sepanjang itu pula tak ada langkah konkret untuk mengakhirinya.

Pada hakikatnya, menurut Duverger, antagonisme politik memang cenderung diungkapkan secara keras, sebab hal tersebut memberikan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan dasar menusiawi. Jika seseorang bergolak untuk menghindarkan diri dari kondisi atau situasi yang tidak menguntungkan dirinya adalah wajar jika ia mempergunakan berbagai macam cara, termasuk kekerasan untuk mempertahankan diri. Maka, kerusuhan, pemberontakan, tindakan terorisme, perang saudara, penindasan, kekejaman, atau politik bertaburan mayat, menjadi hal yang lumrah. Namun tak adakah jalan keluar?

Integrasi Politik Bukan Utopia

Mungkinkah antagonisme politik menjadi integrasi politik? Antagonisme yang menghasilkan konflik, memang tidak menutup kemungkinan, pada kesempatan tertentu, justru menolong dalam membatasi konflik dan meramunya menjadi integrasi. Konflik dan integrasi pada dasarnya bukanlah hal yang selalu kontradiksi dalam politik. Keduanya merupakan sebab dan akibat. Dengan kata lain integrasi muncul sebagai akibat dari antagonisme politik. Dan, kata Duverger, paham integrasi memainan peranan penting justru dalam di dalam perkembangan konflik. Konflik dan integrasi adalah hal yang tak terpisahkan, di mana konflik secara alami akan menuju pada integrasi. Sehingga antagonisme pada perkembangannya akan cenderung mengarah pada, yang disebut Duverger,  penghapusan dirinya sendiri (self elimination) yang pada gilirannya menghasilkan kerukunan sosial.

Integrasi dalam Vocabulaire Philosophique, Lalande memberikan defenisi sebagai “dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota-anggota masyarakat”. Integrasi, olehnya itu, merupakan sebuah proses dalam mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu kota yang harmonis, yang didasarkan pada tatanan yang oleh anggota-anggotanya dianggap harmonis.

Harmoni politik, merupakan sebuah proses abadi untuk “menjadi” dalam sebuah pergulatan konflik. Harmoni politik dalam frame integrasi sosial pada  fase tertentu bermetamorfosis dari antagonisme politik yang melahirkan konflik. Kondisi ini, bagi kaum Marxis merupakan dorongan  yang memotivasi bagi terjadinya evolusi sosial.

Dalam kenyataannya konflik –di dalam satu rezim kekuasaan— telah mencakup suatu tingkat integrasi tertentu. Misalnya jika terjadi konflik, ada kecenderungan masyarakatnya melakukan resistensi terhadapnya dan berusaha menggantikan  bentuk-bentuk konflik dengan bentuk-bentuk lain. Kecenderungan ini pada akhirnya akan melahirkan suatu tatanan yang terus menerus berusaha memberantas konflik terlebih yang mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan fisik.

Integrasi  politik, berdasar kecenderungan ini, pada dasarnya bukanlah sebuah utopia dan inilah yang kita harapkan segera mewujud ditengah hingar-bingarnya krisis. Meski demikian proses untuk itu akan berlangsung lama. Sebab menyatukan berbagai komponen elite bukanlah hal yang mudah. Terutama dalam menghilangkan paling tidak mengurangi antagonisme yang mengsekat-sekat  mereka. Terlebih lagi untuk mewujudkan integrasi sosial yang merupakan imbas dari integrasi politik, jelas akan menjadi semakin sulit.

Lantas, bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Bangsa yang sedang mengalami masa-masa pelik ini dengan berbagai macam konflik dan krisis multidimensional yang terus mengungkung, ternyata belum mampu berbuat apa-apa. Para elitnya masih sibuk dengan kursi kekuasaan yang empuk, serta membangun kekuatan demi struggle for life.

Masa-masa krisis terasa semakin panjang dan melelahkan. Segala macam subsidi dihapuskan, harga-harga semakin naik. Gejolak di masyarakat mungkin saja sebentar lagi akan muncul.  Antagonisme politik yang menimbulkan segala macam konflik dan krisis di negara ini, masih akan terus berlanjut, jika sekiranya beberapa peran integrasi dimatikan. Dalam konteks sosial, Indonesia, pada akhirnya, pada fase tertentu akan mengalami revolusi sosial, jika para elite tidak segera menghentikan segala konflik. Dan revolusi sosial merupakan fase terakhir, dalam konteks kenegaraan, dari konflik kolektif, di mana kekuasaan harus berhadapan langsung dengan rakyat.

Beberapa hal yang mungkin harus segera dilakukan oleh para elite untuk mewujudkan integrasi otentik (bukan pseudointegrasi) yakni pertama, terbentuknya peran-peran integrasi yang berusaha membatasi konflik, dengan berusaha melakukan pemberantasan kekerasan dalam politik. Kedua. Adanya kompromi. Penghapusan kekerasan politik diperlukan adanya kompromi awal, tentang aturan-aturan main. Dengan ide kompromi ini, yang “bukan” hanya pada bentuk, akan tetapi juga pada “isi”. Dengan demikian kita mulai membuat sebuah langkah maju yang benar dalam proses integrasi. Ketiga. Solidaritas sosial. Solidaritas pada dasarnya bentuk dari munculnya sebuah simpati dan empati di antara masyarakat dalam sebuah negara. Dengan adanya solidaritas ini, maka integrasi akan semakin jelas wujudnya di Indonesia. Tidak ada integrasi yang mungkin terjadi tanpa adanya perkembangan solidaritas. Meski demikian, ketiganya haruslah berlandaskan pada tanggungjawab akan rasa keadilan.

Kini, kita hanya tinggal berharap, semoga saja para elite yang berseteru sama-sama ingin membangun Indonesia. Tidak untuk pribadi atau kelompok yang  merasa, dirugikan, tersingkirkan atau terancam. Mereka  berperang, semoga hanya karena cara mereka yang berbeda dalam membangun bangsa ini, bukan karena mempertahankan kekuasaan dan melupakan kepentingan yang lebih besar yakni rakyat. Sehingga  antagonisme politik segera menjelma menjadi integrasi politik yang pada gilirannya akan menjelmakan diri dalam integrasi sosial, demi terciptanya Indonesia yang tenteram dan damai. Maka intergrasi politik bukan lagi sebuah utopia di Indonesia.

Bagaimana pun kemampuan suatu negara dalam menyelesaikan konflik, dapat dijadikan sebagai ukuran tinggi rendahnya kualitas integrasi masyarakat bangsa tersebut. Maka bagaimanapun juga, masyarakat Indonesia, utamanya para elite politik, seharusnya berusaha dan sadar bahwa ujian kehidupan demokrasi dapat dilalui tanpa adanya kekerasan. Dan politik  bertabur mayat adalah sebuah kehancuran moral dari suatu bangsa. Suatu  pernyataan bahwa integrasi masyarakat Indonesia masih sangat kuat, bukan hanya lip service.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Kajian Budaya Abbicara dan Ketua Komunitas Penulis Pinggiran.



[1] Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, 2001