Secangkir Teh Terakhir, Aswar Hasan

Secangkir Teh Terakhir, Aswar Hasan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Idwar Anwar

Catatan Idwar Anwar 

Berita duka itu datang, serupa tusukan jarum yang tiba-tiba melesat ke jantung: Dr. Aswar Hasan telah pulang, Rabu malam, 13 Agustus 2025, sekitar pukul 20.21 WITA, beliau mengembuskan napas terakhir di RS Primaya, Makassar. Dan ini, menjelma sebuah penanda sederhana, pun menjadi garis pemisah antara: “dulu masih bisa berjumpa” dan “kini hanya bisa dikenang.”

Yang paling diingat orang tentang Aswar bukanlah, termasuk saya tentu senyumnya yang menenangkan. Tutur katanya yang sopan, datar dan menyejukkan. Kak Aswar, begitu biasa  saya menyapanya, merupakan dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin. Dan saat bertemu, deretan pujian akan dilontarkan terhadap saya. Dan seperti biasa, saya hanya bisa tersenyum.

Dalam ruang kuliah, Aswar membagikan ilmunya dengan tutur kata terjaga dan ketenangan yang panjang meski dengan samudera ilmu dimilikinya. Di koridor kampus, ia menyalami mahasiswa seperti menyapa tetangga lama, sesekali mengajak diskusi. “Ramah, tenang, sabar”—tiga kata yang sering diulang-ulang oleh mereka yang pernah bersua, bahkan yang berinteraksi lama. 

Di luar kampus, ia pernah mengemban amanah sebagai Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel dua periode yakni 2004 - 2007 dan 2007 - 2010. Selanjutnya menjadi Ketua Komisi Informasi (KIP) Sulsel selama 2 periode 2011 hingga 2015 dan 2015 hingga 2019. Hingga hijrah ke Jakarta menjabat Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2019-2022.

Kiprahnya terkait keterbukaan informasi tentu tak dapat diragukan lagi. Ruang pengabdian yang mempertemukannya dengan etika, keterbukaan, dan tanggung jawab kepada publik. Pada dirinya, jabatan bukan panggung, melainkan alat untuk menyalurkan akal sehat, berkontribusi bagi bahasa, negara dan agama. 

Sebagai penulis, ia dikenal sangat produktif. Bahkan memiliki kebiasaan setiap pekan menyuguhkan: “Secangkir Teh” dengan pemikiran-pemikirannya yang beras. Sederet pemikiran  dibalut sentilan-sentilan lembut, meski kadang tegas dalam kolom “Secangkir Teh” di Harian FAJAR menjadi bahan diskusi yang menarik. 

Kita dapat belajar memandang isu sosial dengan hati yang teduh melalui tulisannya —cara Aswar menunjukkan bahwa ilmu tak harus lantang disampaikan untuk menjadi terang dalam pikiran orang-orang. Bahkan menjelang kepergiannya, catatan-catatan itu masih mengalir, seakan ia tahu bahwa yang paling kuat dari manusia adalah kata-kata yang meninggalkan gema. Dan saya –yang juga gemar mengungkapkan pikiran melalu tulisan— merasakan dedikasi itu.

Kabar kepergiannya menyayat banyak pihak. Bagi saya, kak Hasan menjadi mentor dan menyemangat saya untuk tetap menulis. Bahkan menjadi, “sosok pemikir yang konsisten berbagi ilmu”. 

Gagasannya yang tetap hangat, dan kebiasaan Aswar untuk mendengar terlebih dahulu sebelum menimbang dan memberi komentar masih terbayang. 

Tak salah, jika kepergiannya membuat pesan di grup-grup dan di berbagai media, seperti ombak kecil yang bersahut-sahutan menyebar duka; masing-masing membawa serpih cerita tentang keluasan hati dan kebaikannya.

Bila harus jujur, kehilangan, tentu bukan hanya menyisakan perih; juga mengajarkan cara mensyukuri yang tertinggal. Dan yang tertinggal dari Aswar begitu banyak: ratusan bahkan ribuan tulisan-tulisannya yang mencerahkan, mahasiswa yang pernah mendapat limpahan ilmu dan lebih berani menulis, jurnalis yang lebih teliti memilih diksi, atau mungkin pejabat yang lebih berhati-hati dan tak menutup informasi yang seharusnya terbuka. Ketika tubuhnya dimakamkan, gagasan-gagasan itu tak mati di kepala kita.

Kematiannya tidak hanya menyisakan duka, namun menyisakan narasi kebersamaan. Mahasiswa mengingat bimbingan skripsi atau tesis; ada yang bercerita tentang asyiknya diskusi dan pikiran-pikirannya; menceritakan Aswar yang lebih banyak tersenyum ketimbang berbicara walau berlimpah ilmu, bahkan cerita tentang perjuangan hidup di masa-masa mahasiswa dan bergelut di organisasi bermunculan. Kesedihan menjelma menjadi narasi kebersamaan. Bahkan harapan tumbuh dari narasi-narasi itu: bahwa “kebaikan itu menular”. 

Pada akhirnya, in memoriam bukan penutup, melainkan undangan untuk meneruskan, bahkan kebaikan yang teramat kecil sekalipun. Dengan cara-cara kecil itu, Aswar tetap hadir—keramahan, ketenangan, kesabaran, bahkan pikiran-pikirannya —dalam pilihan-pilihan kata yang kita tuliskan tentangnya.

Selamat jalan, Kak Aswar. Terima kasih, “Secangkir Teh” yang kau suguhkan telah menunjukkan bahwa ilmu bisa menjelma keteduhan. “Secangkir Teh” ini adalah suguhan terakhirmu di dunia. Engkau telah berpindah ke alam lain. Semoga Allah melapangkan jalanmu, mengampuni dosamu, dan menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya.