Nawanawana Sawerigading: Membaca Ulang Luka Purba Sawerigading

Nawanawana Sawerigading: Membaca Ulang Luka Purba Sawerigading, Idwar Anwar, La Galigo, Kitab La Galigo, Sureq Galigo, Luwu, Bugis, Makassar

Catatan: Idwar Anwar


Kegelapan mendekap; To Létté Ileq. Lamat-lamat, cahaya menyeruak. Serupa mula tau diturunkan ke ale Luwu (lino). Sangiang Mpajung menghambur badai, Ruma Makompong menyabung halilintar, Pulakalié menebar cahaya kilat, dan bersama To Alebboreng menyulut api dewata.

Lalu, kegelapan menjelma di panggung Teater SATU Makassar, malam itu. Kendati tak sedramatis turunnya Batara Guru, tapi cukup melarutkan kenangan dengan suara sayup orang massureq; mendendangkan syair-syair purba.

Lampu-lampu remang menciptakan bayangan samar, seperti menyelubungi rahasia yang hendak dibuka pelan-pelan. Di tengah panggung, di atas gundukan yang lebih tinggi, seorang perempuan bersenandung mantra-mantra purba. Di tangannya yang sedikit gemetar, aroma magis menyeruak.

Pementasan itu dimulai dengan, alunan magis kepedihan. Meski tanpa suara laut yang mengaduh dan desir angin yang menggigit, terasa ada sesuatu yang pilu, bahkan tanpa satu dialog pun dilafalkan. 

Bagi saya, seharusnya ini bukan sekadar pertunjukan, tapi ini laiknya menjelma penggalian luka; sebuah luka purba. Upaya menyibak kembali naskah tua, Sureq Galigo, untuk memahami manusia bernama Sawerigading dari sisi yang paling rapuh; bukan pada ketegarannya mengarungi lautan untuk cintanya yang menjelma badai.

Saya berharap menyaksikan, di tengah panggung, seorang lelaki berdiri kaku, tatapannya kosong menembus dinding waktu. Seseorang yang termaktub dalam Kitab Galigo, sebuah karya purba tentang asal muasal manusia di Ale Lino (Luwu). Dialah Sawerigading—pangeran legendaris, putra mahkota Kedatuan Luwu, dari mitologi yang tak hanya menjadi simbol kekuatan, tetapi juga tokoh yang menyimpan luka batin paling purba.

Sureq Galigo, tentu bukan sekadar mitologi. Kitab ini menyimpan dunia dalam dirinya sendiri—panjang, rumit, dan mengendapkan berlapis makna-makna purba. Disusun dalam bahasa Bugis Kuno (Luwu) dan diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, naskah ini lebih dari sekadar kebanggaan, ia menjelma pusaka peradaban.

Karena itu, Teater SATU nampak tak ingin membawa mitologi ini ke panggung dengan cara biasa. Mereka memilih jalan sunyi: menyajikan cerita dalam bahasa aslinya, seperti pertama kali didendangkan di beranda-beranda rumah panggung di Sulawesi Selatan di masa lampau.

Dan pilihan itu, membuat segalanya terasa lebih jujur. Lebih getir. Lebih manusiawi. Dan jauh lebih luka. 

Pertunjukan berdurasi pendek ini memilih satu konflik paling getir dalam hidup Sawerigading: obsesi cintanya kepada saudari kembarnya sendiri, We Tenriabeng. Cinta yang tak bisa memiliki. Cinta yang melukai dirinya, rakyatnya, bahkan negerinya. Cinta yang membuatnya harus mengarungi samudra.

Kita paham betulnya dan menilai perasaan itu sebagai sebuah cinta terlarang. Tapi di panggung itu, cinta ini lebih tampak sebagai siksaan maha dahsyat. Sebuah jerat psikologis yang membuat seorang pangeran perkasa kehilangan pijakan; bahkan kehilangan ketangguhan sebagai titisan To Manurung.

Sekuat apapun Sawerigading menggapai cintanya, sekuat itu pula alam menghalanginya.  Tatapan Sawerigading pada We Tenriabeng tak pernah benar-benar tenang; kerap bergemuruh. Ada harap, tapi tak kuasa. Ada rindu, tapi takut kutuk. Di situlah luka batin itu menganga. Dan itu dihadirkan di atas panggung, meski bagi saya, kemarahan jauh lebih menonjol. Nada tinggi menghiasi pementasan. Entah, karena sound system atau mungkin akibat artikulasi yang harus diumbar untuk mempertegas kata-kata. 

Terlepas dari semua itu, tentu saya masih ingat, ketika cinta yang teramat kuat itu tak mendapat ruang, “pelarian” menjadi pilihan. Sawerigading memilih “meninggalkan” tanah Luwu, memutuskan untuk tak kembali. Lelaki itu pergi meninggalkan cintanya yang kian retak. 

Di kepala saya, kisah dalam kitab yang telah saya tamatkan 12 jilid di tahun 2001 ini, kerap menyisakan romantisme yang maha dahsyat. Tanda petik untuk kata “meninggalkan” sengaja saya sematkan, sebab Sawerigading tak benar-benar meninggalkan Tana Luwu karena cintanya yang tak kesampaian. Ia hanya melakoni pengembaraan karena “paksaan”  We Tenriabeng yang telah memperlihatkan melalui kukunya, seorang perempuan yang mirip dengan dirinya; We Cudaiq.

Perempuan yang bermukim di Tana Cina ini, pun dilayarinnya. “Cintanya” mulai tumbuh. Bukan hanya badai, atau ombak yang harus dihadapinya, tapi juga tujuh peperangan laut yang membuat haluan kapalnya dihiasi beberapa kepala raja yang ingin merebut We Cudaiq.

Teater SATU Makassar menghadirkan pelayaran di atas panggung. Digambarkan dengan simbolik yang kuat, meski tanpa kepala raja-raja yang ditaklukkan Sawerigading. Musik yang lirih, kadang menghentak. Gerakan lembut, lalu liar, memukul-mukul panggung membuat penonton larut dalam ketegangan, lalu sunyi.

Perjalanan Sawerigading mengarungi lautan, bukan hanya sebuah pelarian dari luka, tapi juga pencarian akan makna hidup; sebuah paradoks kegelisahan. Dan laut dalam pementasan ini tak hanya biru, ia kelabu, pekat, warna bermain, dan nyaris menenggelamkan kegetiran.

Bahasa Bugis Kuno (Luwu) yang digunakan dalam dialog membuat emosi yang muncul terasa lebih purba. Penonton mungkin tak mengerti sepenuhnya kata demi kata, tapi kegetiran purba itu berupaya tersampaikan.

Di sanalah kekuatan pertunjukan ini: membiarkan bahasa tubuh, permainan suara (aktor) dan musik, menjadi jembatan makna. Para aktor tak hanya memerankan, mereka menyelami. Mereka berupaya menjadi bagian dari mitos, bagian dari luka purba, tanpa kehilangan sisi manusianya.

Sawerigading bukan hanya tokoh besar dalam kisah agung. Ia adalah lelaki yang dilukai oleh cinta. Yang terbelah, terbelenggu oleh darah dan hasrat. Yang terusir bukan oleh musuh, tapi oleh dirinya sendiri; cintanya.

Dan luka purba itu tak pernah sembuh. Ia menular kepada anaknya. Kepada sejarah. Kepada kita hingga saat ini. 

Dari sini kita mungkin kian memahami, bahwa mitos bukan sekedar dongeng; mungkin sesuatu yang tak harus dipercaya. Tapi kisah ini, mungkin banyak lagi kisah serupa, adalah cara kita memahami trauma kolektif.

Cinta dalam Sureq Galigo tak pernah sederhana; bahkan teramat rumit dan diinterpretasi, dilakoni dengan cara yang kian rumit. Ia membawa batas-batas antara norma dan keinginan, antara adat dan batin yang tak henti bergejolak.

Dan Teater SATU berhasil menghadirkan kembali luka itu ke hadapan kita; mengajak kita merenungi batas-batas itu, tanpa menggurui.

Sebagai penonton yang telah membaca tuntas 12 jilid kitab ini, saya nyaris lupa bahwa ini adalah mitologi. Saya merasa sedang menyaksikan seseorang yang terluka oleh cinta dalam bentuk yang paling dalam.

Pertunjukan ini bukan sekadar membaca ulang Sureq Galigo. Ia adalah pembacaan ulang atas diri kita sendiri; atas luka purba yang menjelma dalam bentuk lain.

Berapa banyak dari kita yang menanggung luka karena cinta yang tak mendapat tempat? Berapa banyak dari kita yang memilih pergi, karena tak sanggup menghadapi kenyataan?

Sawerigading adalah cermin bagi banyak dari kita. Ia manusia; rapuh, terluka, kecewa, marah, mencari, berjuang, bahagia dan ia adalah kita.

Dan dalam pementasan ini, kita diajak turut merasakan deritanya; derita purba. Kita diajak mencari diri kita, dalam bahasa yang mungkin asing, tapi rasa yang sangat akrab.

Nawanawana” bukan sekadar derita. Ia adalah bunyi hati yang terkadang tak bisa disuarakan. Dan malam itu, Teater SATU Makassar menyuarakannya untuk kita.


Makassar, 25 Juli 2025

-------

Teater SATU Makassar - SMA Negeri 1 Makassar, Galigo: Nawawana Sawerigading, memenangi Festival Teater Berbahasa Daerah Se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Tahun 2024, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada ajang tersebut, selain diganjar dengan predikat Group Penyaji Terbaik I, pertunjukan ini juga menyabet 4 (empat) penghargaan khusus: Skenario Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Artistik Terbaik, dan Pemeran Wanita Terbaik.

Karya ini dipentaskan kembali dalam APRESIASI BUDAYA, Yayasan Sulapa Eppae, 5 Juli, 2025 di Gedung Mulo, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan.