Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gejala Anomie dan Split Personality


Oleh Idwar Anwar

Ada suatu penyakit yang bukan baru lagi, sepertinya sedang menggejala di masyarakat Indonesia dewasa ini. Gejala anomie atau gejala kebingungan yang teramat sangat terhadap norma yang selama ini dipegang. Bagi masyarakat desa yang pergi ke kota, gejala ini  begitu kental. Terjadi semacam penularan penyakit kota terhadap masyarakat desa yang  pergi ke kota. Dan pada akhirnya simtom ini  ternyata berdampak negatif bagi tingkah laku masyarakat. Gejala ini pada tingkat yang paling ekstrem akan mengakibatkan munculnya suatu prilaku yang vandalistik dan sadistis.

Menurut DR. Paulus Wirutomo, munculnya gejala anomie ini diakibatkan : pertama, masuknya budaya asing (gejala modernisasi) yang begitu gencar ke dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat  yang tentunya akan menimbulkan gejolak tersendiri terhadap budaya lokal. Terlebih karena ketidak-siapan masyarakat, maka usaha untuk menyaring budaya asing tersebut mengalami hambatan. Dalam kondisi demikian masyarakat akan mengalami kebingungan dan ketidakpastian, sehingga mereka kehilangan pegangan.

Kedua, kehidupan sosial masyarakat mengalami dekandensi, di mana relasi kekerabatan mengalami gap yang teramat lebar. Kehidupan masyarakat, utamanya di perkotaan, semakin kompleks, akan mengakibatkan mobilitas masyarakat pun semakin tinggi. Akibatnya muncul persoalan tersendiri, di mana ikatan batin, seperti yang ada di masyarakat desa mulai memudar. Maka, sikap cuek terhadap lingkungannya pun terjadi.

Kecenderungan ini terjadi oleh muatan-muatan modernitas yang mendoktrinkan sikap individualistik dan materialistik yang menimbulkan sikap rivalitas. Konsekuensi logisnya,  ikatan persaudaraan dalam ruang lingkup masyarakat yang dulunya masih kental, menjadi luntur.

Gejala anomie ini mengakibatkan orang-orang tak lagi  percaya akan jagat maknanya. Apa  yang sering kali dibayangkannya (nilai-nilai kultur yang dipegangnya) kadangkala berbeda dengan realitas yang mereka hadapi.  Sebagai akibat dari tidak adanya relasi positif antara realitas dengan sesuatu yang dibayangkan, maka timbullah perasaan cemas, takut, bimbang pada norma-norma yang selama ini diyakininya. Sebuah realitas baru yang selama ini tak pernah dibayangkan sebelumnya, muncul tiba-tiba dan menghentak kesadaran, tanpa mampu berbuat apa-apa, kecuali berdiri meyaksikan realitas baru itu menggilas mereka begitu garangnya.

Pada akhirnya orang merasa menjadi manusia yang kosong.  Sehingga sebagai pribadi, individu akan menjadi rapuh, tak mantap, muncul kecemasan-kecemasan dan lemah terhadap segala godaan. Realitas baru telah merampas norma yang selama ini mereka yakini. Pelampiasannya pun akhirnya terjadi tanpa kontrol.

Dalam psikoanalisis Sigmund Frued ada pula simtom dalam masyarakat modern yakni munculnya suatu perasaan cemas dan takut pada realitas. Realitas yang dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan tersebut mengakibatkan individu melakukan sesuatu yang disebut Freud sebagai ‘penipuan diri’ dalam pengungkapannya.

Neurosis, istilah Freud dalam menyebut keadaan ini, adalah yang mendorong seseorang menyembunyikan penipuan dirinya itu. Neurosis tersebut melakukan penipuan diri dengan mendistorsi struktur-struktur simbolik dalam dimensi bahasa, tindakan dan ekspresi. Represi yang dilakukan ini pada hakikatnya mengalami kebuntuan, sebab bagaimanapun keadaan yang ingin disampaikan tersebut terus melakukan perlawanan.

Kondisi  resistensi ini terjadi akibat adanya dua kekuatan yang saling bertentangan; yang satu berusaha mengungkapkan sesuatu, sedang yang satunya lagi berusaha mencegah pengungkapan tersebut. Akibatnya meski akhirnya pengungkapan itu berhasil, tetapi dalam bentuk yang terdistorsi. Pengungkapan yang terdistorsi ini akhirnya menampakkan dirinya dalam; pikiran obsesif, tindakan yang terus diulang, histeria dan dalam bentuk pengungkapan simtom kejiwaan lainnya.

Fenomena ini akan melahirkan manusia-manusia berpribadi retak (split personality), yang tak mampu memahami pikirannya sendiri. Kecenderungan ini muncul karena dunia pikiran, cita-cita (high expectation) sering kali dinafikan dan tak memiliki ruang dalam dunia nyata (reality of life). Apa yang tampak dapat saja berbeda dengan apa yang mewujud (being). Manusia pun akhirnya lari dari sebuah realitas dan melakukan pelampiasannya pada dunia baru yang mungkin tanpa ia sadari.

Tak mengherankan jika realitas faktual masyarakat kita mengalami kekhusukan lain. Meningkatnya kebutuhan akan, antidepresan, anticemas, dan obat-obat penggugur kekecewaan, tak dapat dihindarkan. Dan gejala ini akan semakin hebat menggerogoti manusia jika dalam dirinya mengalami pula gejala pengalineasian moralitas ke tingkat yang paling ekstrem.

Kondisi semacam ini sangat tampak ketika kasus Sampit yang menghacurkan sebuah tatanan masyarakat yang telah terbangun selama sekian tahun antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, salah satunya Madura yang menjadi korban keganasan masyarakat Dayak. Masyarakat dayak seperti mengalami simtom anomie dan secara individu masyarakatnya mengalami split personality.

Sedang dalam teori ekonominya, kasus tersebut bersumber dari adanya ketimpangan ekonomi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat asli (Dayak) yang notabene merasa sebagai pemilik sah tanah Sampit.

Di masyarakat perkotaan gejala ini sangat jelas terlihat. Masyarakat seperti tak mau perduli dengan lingkungan sekitarnya. Tetangga yang satu belum tentu tahu siapa yang tinggal disebelah rumahnya. Sebab untuk bertemu saja mungkin sangat sulit, terlebih untuk berbincang atau berdiskusi.

 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Budaya Abbicara dan Ketua Komunitas Penulis Pinggiran, Makassar.

 Tulisan ini telah dimuat di Pedoman Rakyat