Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seorang Perempuan dengan Badai di Perut

Cerpen Idwar Anwar

Perempuan itu lemas tersungkur. Ia telah kehilangan dompetnya di pelabuhan Tanjung Priok, saat turun dari kapal yang membawanya dari kota Makassar. Seorang lelaki yang pura-pura membantunya, ketika hampir terjatuh akibat kelelahan dan perutnya yang semakin membesar, telah mengambil dompet itu dari dalam tas kumal yang ditentengnya. Seketika ia merasa kehilangan kehidupannya. Semua yang ia harapkan sebagai bekal saat berada di Jakarta telah melayang begitu saja tanpa jejak. Ia bahkan tak sempat mengingat lagi wajah orang yang menolongnya.

Perlahan perempuan itu bangkit. Dengan langkah yang terseok menopang badai di perutnya yang membesar dan dengan dandanan perem­puan kampung yang kumuh, ia menghampiri seorang petugas pelabuhan untuk melaporkan kehilangan yang baru saja dialaminya. Wajahnya miris ketika menatap sang petugas yang berdiri bak patung angkuh menatap kekalahan dan kemiskinan yang berdiri di hadapannya. Kakinya gemetar dan tubuhnya semakin lemas tatkala sang petugas membekukan wajahnya. Terlebih ketika ia dihardik seperti anjing yang akan mencuri tulang dari sang majikan yang tak mengizinkan.

Tiba-tiba ia merasakan awan gelap menyusup ke dalam otaknya. Perempuan itu makin kehilangan harapan. Uang, emas dan beberapa alamat yang berada di dalam dompetnya semua telah hilang. Ia tidak tahu lagi ke mana mesti melangkah. Jakarta dirasakannya sebagai dunia yang begitu luas dan kejam yang siap mencengkram keluguannya.

Ia pun pasrah dan melangkah gontai di antara kendaraan yang banyak terparkir di sekitar pelabuhan. Berjalan di bawah sinar matahari yang membakar kulit, di antara gedung-gedung pencakar langit dan keangkuhan kendaraan yang lalu-lalang seperti tak kenal henti, dirasakannya seolah menyusuri jejak-jejak di padang pasir yang maha luas. Hingga akhirnya perempuan itu hinggap pada malam yang membekukan. Lampu-lampu Jakarta masih setia menemani malam. Kelelahan seakan telah melepaskan satu per satu tulang-tulang dari tubuhnya.

Beberapa kali perempuan itu mencoba menggelar tikar pandan yang diba­wanya di emperan-emperan toko yang dianggapnya dapat melindungi tubuhnya dari hujan yang mungkin saja tiba-tiba turun atau angin yang mungkin saja dapat membekukannya. Namun hanya pengusiran dan kata-kata kotor yang selalu mengalir dari bibir orang-orang yang tidak menghendaki emperan tokonya digunakan untuk merebahkan tubuhnya yang  semakin penat, yang diterimanya. Atau cacian dan bentakan yang keluar dari mulut satpam yang mendapat tugas mengamankan toko majikannya. Dan mungkin juga sekaligus bertugas mengusir dan mencaci-maki orang-orang yang ingin numpang tidur di emperan toko majikannya. Makian itu dirasakannya seolah mencabik-cabik gendang telinganya; harga dirinya; kemanusiaannya.

Perempuan itu tertegun, tak disangka di bulan Ramadhan ini masih banyak orang yang tidak memiliki rasa kasihan sedikit pun menyak­sikan  penderitaan orang lain. Ataukah memang dirinya yang di bulan penuh berkah ini, harus menanggung penderitaan akibat perbuatannya sendiri melakukan persekutuan syetan, membantu lelaki yang kini dicarinya menanam badai di perutnya.

Gemetar tubuh perempuan itu kian mengguncang kesadarannya akan awal sebuah ketersiksaan yang akan ia hadapi di kota metropolitan ini. Dan kesadarannya ini pulalah yang telah membawanya nekat mencari kakak dan penanam badai di perutnya, di kota  yang hampir tak memiliki lagi keramahan.

Ya, Jakarta dirasakannya sebagai sebuah dunia yang di da­lamnya hampir tak ada lagi kehidupan yang pernah ia rasakan di desa kelahirannya. Kecuali manusia yang masih berbicara dan tersenyum, meski mungkin tak setulus orang-orang di desanya. Banyak yang begitu aneh di matanya. Ia seperti berada di alam lain.

Namanya Rani. Tubuhnya berbalut kain kusam berwarna dasar hijau tua dengan motif kembang. Dengan modal Rp. 300.000, bebera­pa potong pakaian, plus perhiasan kalung 2 gram dan makanan kecil untuk berbuka puasa, serta foto kakaknya, ia meninggalkan kampung halaman mencari orang yang selama ini menghidupi keluarganya. Dan kalau bisa, menemukan lelaki yang sepantasnya kini menjadi  suami dan  bapak dari sosok yang berada di dalam tubuhnya. Ia memang telah terjerat badai yang di tanam begitu lembut, meski sedikit tergesa-gesa, di rahimnya yang masih lugu.

Dengan sisa-sisa tenaga, Rani terus saja berjalan mencari tempat di emperan toko,  dengan harapkan pemiliknya memiliki setitik rasa kasihan untuk membiarkannya merebahkan tubuhnya yang dirasakannya semakin lemah. Ia memang harus mengumpulkan tenaga untuk menghadapi tantangan hari esok.

Kini, Rani tak memiliki lagi barang-barang yang berharga yang harus dijual untuk menyambung hidup, atau bahkan untuk kembali ke kampung. Bahkan emas 2 gram yang dibawa dan diselipkan di dalam dompetnya untuk berjaga-jaga jika saja uangnya habis juga ikut raib. Semua telah habis. Keluarga tak ada. Harapan satu-satunya jika beruntung hanya kakaknya yang kini tinggal di Jakarta. Atau jika  sudi, mungkin lelaki yang telah menanam badai di perutnya juga dapat membantunya. Setidaknya begitulah harapannya. Ia memang tidak terlalu berharap banyak pada lelaki yang telah meninggalkannya, setelah tahu bahwa di perutnya kini ada sesuatu yang tumbuh. Sesuatu yang kini ia harus bawa ke mana pun melangkah. 

Setelah berjalan sekian lama bersama malam yang hampir berakhir, akhirnya ia hinggap di bawah kolong jembatan. Beberapa pasang mata menatapnya penuh tanda tanya. Perempuan itu tak  perduli. Dengan leluasa dapat membaringkan tubuh dan pikirannya yang kian penat.

Malam dilaluinya dengan mimpi-mimpi yang menakutkan. Seseorang dengan wajah kasar dan bengis tiba-tiba menindih tubuhnya. Ia meronta dan berteriak sekeras-kerasnya. Namun, tak satu pun orang yang datang menolongnya. Kesuciannya terenggut. Ia tak tahan dan mengambil sebilah pisau lalu ditancapkan ke jantungnya. Nauzubillah.

 

***

 

Panggilan sahur dari masjid-masjid yang  mengiang-ngiang di telinga, menggeliatkan tubuh Rani yang terasa masih lelah. Ia berusaha bangkit dan menggerak-gerakkan tubuhnya perlahan. Tikar pandan yang digelarnya semalam dibersihkan. Perlahan digulungnya dan dimasukkan ke dalam tas.

Dengan wajah yang masih kusut, ia berjalan menuju masjid yang tidak terlalu jauh dari tempatnya terbaring. Rambutnya yang panjang masih di­biarkannya terurai dan menjuntai di bahunya. Sambil berjalan sesekali ia membenahi bajunya yang kusut akibat tertindih sewaktu tertidur.

Saat kakinya telah menginjak pelataran masjid, ia langsung menuju tempat untuk mengambil air wudhu. Perlahan percikan-perci­kan air membasahi wajahnya yang kusut dan kotor oleh debu dan asap knalpot kendaraan. Butiran-butiran air itu terasa begitu segar saat merayapi seluruh permukaan wajahnya. Sejak kemarin wajahn­ya tidak pernah tersentuh air. Pikirannya saat itu memang begitu kalut.

Ditengadahkannnya wajahnya ke langit yang masih nampak gelap. Di jalan raya orang-orang mulai banyak yang lalu-lalang. Nampak beberapa perempuan masuk ke dalam masjid membawa beberapa mangkuk besar berisi makanan. Beberapa lelaki juga terlihat memasuki masjid.

“Mungkin makanan untuk santap sahur para remaja masjid dan orang-orang yang tidak mampu. Atau mungkin juga gelandangan seperti saya yang, anggaplah, masih memiliki sedikit iman dan keinginan untuk berpuasa,” pikirnya.

“Sama seperti di desa.”

Angannya seketika berada di sebuah desa terpen­cil. Teringat pada ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan serta dua orang adiknya yang masih kecil. Ayahnya telah lama meninggal. Dan sejak itu, ibunya yang mengambil alih tanggung jawab keluarga untuk menghidupi kami. Saat itu usianya masih 14 tahun dan tak tamat SLTP karena ibunya tak mampu lagi membiayai.

Matanya mulai sembab oleh air mata. Rasa sedih dan kasihan pada ibunya yang harus mencangkul di sawah garapan milik tuan tanah di kota, menerjang. Beruntung, setahun kemudian kakaknya diajak seseorang, yang juga masih terbilang ada hubungan keluar­ga, untuk bekerja di Jakarta. Dan sejak saat itu kehidupan mereka mulai membaik, meski ibunya masih sakit-sakitan.

Perlahan Rani mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. Usia kandungannya telah memasuki bulan ketiga. Saat berniat berangkat ke Jakarta ibunya sangat melarang. Namun, ia tidak ingin aib yang dibawanya diketahui oleh ibu dan warga desa. Ia tidak ingin mempermalukan keluarga, terlebih  ibunya yang begitu menyayangi dan menaruh kepercayaan besar kepadanya. Malu rasanya jika semua orang tahu.

“Ah...!” Rani mendesah perlahan. Terasa begitu berat penderi­taan yang mesti dirasakan. Namun, kesadarannya dibenturkan pada sebuah tanggung jawab yang harus terimanya. Perbua­tan itu telah menjeratnya ke dalam lubang yang sangat  dalam dan gelap.

Rani kembali mendesah. Begitu berat. Di wajahnya masih nampak kekalutan dan kelelahan yang membayang. “Hari ini puasa tinggal tiga hari lagi. Tak terasa,” gumannya. Dibenahinya pakaian dan rambutnya yang masih kusut dan perlahan melangkah menuju masjid.

“Aku harus puasa besok, meski terasa berat. Toh tak ada juga yang bisa aku makan, jika tak berpuasa.” Ia kembali mendesah.

Dan setelah mengucapkan salam, ia berjalan memasuki masjid dan duduk di antara orang-orang yang telah siap bersantap sahur. Beberapa wanita setengah baya juga berada di antara mereka.

Tak berapa lama Rani duduk sehabis santap sahur, azan subuh pun berkumandang. Usai melaksanakan shalat subuh berja­maah, ia mengambil al-Qur’an dan membacanya hingga matahari perlahan muncul di ufuk Timur.

 

***

 

Pagi yang cerah. Sinar matahari belum lagi begitu beringas. Rani perlahan keluar dari masjid dan duduk di terasnya. Dibukanya tas yang dibawa dan menumpahkan seluruh isinya. Ia begitu terper­anjat tatkala melihat foto kakaknya yang terselip dibalik kertas. Tak disangkanya foto yang semula dianggap telah raib bersama dompet masih berada di dalam tasnya. Entah siapa yang telah memasukkan kertas-kertas ini, pikirnya. Rasa  terkejut itu semakin menyerang tatkala dibaliknya foto itu dan menemukan alamat kakaknya tertulis jelas persis di tengah foto. Rani begitu gembira. Seketika sebuah harapan membentang jelas.

“Aku harus menemukannya,” ucapnya lirih.

Rani tergesa-gesa mengayungkan langkahnya menyu­suri jalan-jalan berdebu. Matahari mulai menyayat kulit. Di jalan-jalan yang dilalui, ia bertanya kepada orang-orang yang ditemui. Namun, untuk menuju ke tempat yang dituju, ia tak lagi memiliki uang. Dan untuk berjalan, ia tidak cukup tenaga untuk membawa tubuh dan janin yang berada dirahimnya.

Namun, Rani terus berusaha, hingga akhirnya tubuhnya terkulai di halaman kantor polisi saat ia berniat masuk. Ia baru sadarkan diri saat azan magrib berkumandang. Tubuhnya masih lemah. Rani berbaring dalam ruang klinik kantor polisi, setelah sedikit memasukkan makanan ke dalam perutnya untuk berbuka.

“Nama  kamu siapa?” Seorang polisi yang mendapatinya  siuman bertanya setelah memberikan minuman dan makanan kepadanya.

“Rani, Pak.” Perempuan muda berusia hampir 17 tahun, berwajah cantik dan berkulit kuning langsat itu menatap tajam lelaki yang berdiri di tepi pembaringan. Dengan tubuh yang masih lemah ia mencoba bangkit dan duduk bersandar di sisi ranjang. Setelah diminta, Rani menceritakan perjalanannya hingga terdampar di kota Jakarta, sambil mengeluarkan selembar foto kakaknya yang sedang ia cari.

“Bapak mengenal foto ini atau paling tidak pernah melihatn­ya? Alamatnya juga ada dibalik foto itu. Saya ingin ke sana tapi tidak punya uang. Sedang untuk berjalan saya tidak sanggup.”

“Tidak. Kalau alamat ini saya tahu. Tapi ini...maaf, lokali­sasi tempat  wanita tuna susila.”

Tiba-tiba wajahnya menegang. Ia tak percaya. Ditatapnya wajah lelaki di hadapannya begitu tajam.

“Kalau tak percaya, sebentar saya antar ke sana.”  Ia sadar kalau ucapannya tak dipercaya oleh gadis itu.

Saat jam telah menunjukkan pukul 22.00, Polisi itu kemudian men­gantar Rani ke alamat yang tertulis di balik foto yang diberi­kan kepadanya. Malam semakin pekat.  Ketika mereka sampai, seorang wanita mengham­pirinya, “Anda mencari siapa?” Saat itu, mereka baru saja hendak memasuki ruangan yang begitu ramai dengan suara musik dan tawa orang-orang yang berada di dalam. Wanita-wanita yang berada di tempat itu hampir semuanya berpakaian minim.

“Saya mencari seseorang. Namanya Leni.”

“Sudah hampir dua tahun saya bekerja di sini, namun belum pernah saya mendengar  orang yang namanya Leni.”

“Ini fotonya.” Sembari menyodorkan foto kakaknya, mata Rani menjelajah dan mencoba menembus ke setiap sudut ruang yang re­mang-remang.

Wanita itu mengamati foto yang diberikan kepadanya. ”Kalau ini saya kenal. Tapi namanya bukan Leni. Namanya Reni. Ia juga sudah hampir dua tahun kerja di tempat ini. Tapi sekarang ia tidak ada. Katanya, lagi ke luar Jakarta bersama om Dani, pengusaha tekstil langganannya.”

Tiba-tiba wajahnya membeku. Terasa tebal. Rani begitu malu. Ia tak menyangka kakaknya, orang yang sangat dibanggakan keluarga dan warga desanya, ternyata selama ini bekerja sebagai pelacur. Sebuah pekerjaan yang sangat hina dalam pandangan orang di kampungnya.

“Ahhh...!” Ia mendesah panjang. Tiba-tiba air matanya dirasakan ingin tumpah. Rani tak tahan berada di tempat maksiat yang dianggapnya telah menjerumuskan kakaknya itu. Diambilnya foto yang berada di tangan wanita yang berdiri dihadapannya dan berlari ke luar. Tubuhnya terguncang menahan tangis.

Polisi berpakaian preman yang mengantarnya, mengikuti dan mendekatinya perlahan. “Kamu harus tabah. Beginilah kehi­dupan di Jakarta. Sulit. Terlebih orang seperti kita. Sebaiknya kamu tinggal dulu di rumahku, sampai kamu dapat bertemu kakakmu atau....” Ia tak mampu meneruskan kalimatnya. Tatapan tajam Rani tiba-tiba menerjang matanya. Suasana seketika hening di antara mereka. Hanya suara isak Rani yang sesekali terdengar memilukan.

Selama dua malam Rani tinggal di rumah Burhan, polisi yang baru dikenal dan telah mengantarnya mencari kakaknya. Tapi ia tidak tahan. Sebab, selama itu pula, setiap malam, Burhan selalu mema­suki kamar dan menggerayangi tubuhnya, saat istri dan dua orang anaknya tertidur pulas. Akhirnya, Rani memberanikan diri meninggalkan rumah yang dirasakannya bagai neraka itu.

Di sebuah tempat, di bawah kolong jembatan, Rani duduk  terme­nung. “Mengapa nasibku harus seperti ini. Leni, aku tak menyangka kau mau melakukan pekerjaan seperti itu. Sebenarnya aku ke Jakarta hanya ingin bertanya tentang lelaki yang kau bawa setahun yang lalu itu. Lelaki yang setelah kedatangan pertamanya, ia lalu sering berkunjung ke rumah dan merayuku untuk meneri­ma sesuatu yang kemudian tumbuh subur di rahimku. Dan setelah tersesat di Jakar­ta, ternyata aku harus kembali bertemu lelaki yang sama seperti yang kau bawa dulu. Ia pun ingin melakukan hal yang sama. Ahhh...!”

Awan gelap dirasakannya menyelinap ke dalam batin dan otakn­ya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Semua harapannya musnah begitu saja. Lalu bayang-bayang kematian tiba-tiba datang menerjang. Tubuh Rani seketika gemetar. Dengan cepat ia mengambil sebilah pisau dan dengan garang ditancapkan ke jantungnya. Darah seketika muncrat. Tak seorang pun yang tahu. Menjelang lebaran, perempuan itu terkapar bersama badai di perutnya. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar. Lailahaillalahu Allahuakbar. Allahuakbar walillahilham.

 

Palopo-Makassar,  Desember 99-02

 Tulisan ini telah dimuat di Harian Fajar