Kepemimpinan Perempuan
Perempuan acap kali hanya dianggap the second priority dalam pandangan masyarakat patriarki. Karena pandangan itu, perempuan kemudian ditempatkan pada posisi dapur, sumur dan kasur. Kerja-kerja domestik dianggap merupakan kodrat dari setiap perempuan yang lahir di dunia ini.
‘Agama’ kemudian diyakini banyak orang sebagai sumber dari persoalan ini. Pandangan yang menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan paralel dengan ketidak-suksesan, kelemahan dan bahkan kesengsaraan, menjadi bagian yang menguatkan alasan untuk mendistorsi peran perempuan dalam kepemimpinan.
Padahal dalam pentas sejarah Islam klasik, banyak kisah sukses yang diukir para perempuan. Sebutlah, misalnya, Siti Aisyah , isteri baginda Nabi Muhammad Saw, yang dengan sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan perang di bawah kendali perintahnya. Siti Khadijah bint Khuwailid ra, isteri pertama Nabi, perempuan mulia, pengusaha yang menenangkan, mendukung dan memprakarsai aktivitas-aktivitas dakwah yang pada awal-awal Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasulullah. Di tengah-tengah keraguan Nabi Muhammad SAW untuk memulai melakukan dakwah, Siti Khadijah tampil.
Di antara perempuan-perempuan perkasa itu terdapat pula Nusaibah bint Ka'ab ra yang memimpin pasukan perlindungan Nabi Muhammad Saw pada saat-saat kritis para sahabat terdesak dalam perang Uhud. Umm Salamah ra, isteri Nabi yang memimpin perempuan-perempuan Madinah menyuarakan aspirasi mereka kepada Nabi Saw, sehingga turun ayat-ayat kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, Siti Aisyah ra, juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih nyata lagi pada masa akhir pemerintahan Khulafa Rasyidin.
Berbagai kenyataan historis di atas memberikan kita pandangaan bahwa keberadaan perempuan dalam dunia Islam begitu berarti. Apa yang mereka lakukan, terutama kepemimpinan Siti Aisyah pada perang Unta, setidaknya bisa menjadi alasan untuk mengkritisi wacana kepemimpinan politik laki-laki yang dianggap mutlak. Berbagai argumentasi yang selama ini dikemukakan untuk mendukung penolakan kepemimpinan perempuan, saat ini bisa kembali didiskusikan.
Mungkin sama seperti beberapa pandangan yang pada awalnya diterima secara bulat, tetapi dalam perkembangannya kemudian kembali didiskusikan kebenarannya setelah melihat berbagai hal. Misalnya, pendapat ulama yang mengatakan kepemimpinan politik hanya dimiliki oleh suku Quraisy. Pandangan ini hampir seribu tahun lebih dipahami.
Akan tetapi tatkala realitas sosial menunjukkan kepemimpinan politik ternyata tidak hanya dimiliki oleh keturunan Quraisy, maka persoalan kepemimpinan suku Quraisy pun kembali didiskusikan. Adalah Ibn Khaldun, penulis kitab al-Muqaddimah yang pertama kali menawarkan pemahaman substansial terhadap teks-teks kepemimpinan suku Quraisy. Dalam pandangannya, kepemimpinan suku Quraisy berarti kepemimpinan ‘sifat-sifat’ suku Quraisy yang memiliki sifat berani, tegas, cerdas dan tangkas. Jadi teks tersebut bukanlah berarti kepemimpinan ‘orang-orang’ Quraisy.
Sejak saat itu pembicaraan tentang kepemimpinan politik suku selain Quraisy sudah tidak lagi menjadi permasalahan yang krusial dalam realitas kepemimpinan politik Islam. Bahkan kemudian mayoritas ulama telah menerima kenyataan tersebut dengan surat bulat, sebagai suatu keniscayaan realitas yang tidak berlawanan dengan ajaran agama.
Mungkin begitulah sebaiknya memandang kepemimpinan perempuan, yang saat ini telah menjadi suatu keniscayaan. Di berbagai segi kehidupan, khususnya dalam politik, peran-peran perempuan telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Banyak perempuan yang nyata-nyata memiliki kelayakan untuk mengelola pekerjaan-pekerjaan politik, sama seperti laki-laki.
Di Indonesia persoalan kepemimpinan perempuan memang masih menjadi persoalan Tatkala Megawati Soekarno Putri ingin mencalonkan diri menjadi Presiden, muncul berbagai polemik. Banyak yang menenteng kepemimpinan perempuan. Namun tidak sedikit pula yang mendukung dan tidak mempermasalahkan kepemimpinan perempuan.
Berbagai argumentasi disodorkan untuk mendukung perdapat mereka. Polemik pun tidak bisa dihindari. Meski pada akhirnya Megawati berhasil duduk di tempuk tertinggi kepemimpinan di Indonesia, namun keberadaannya terus menerus mendapat tantangan. Dengan tampilnya Megawati menjadi presiden pertama di Indonesia, kehadiran pemimpin perempuan pun perlahan-lahan mulai bisa diterima oleh masyarakat.
Dalam tradisi kepemimpinan di Indonesia, kehadiran perempuan memang belum mendapat tempat yang layak. Selalu saja muncul polemik terhadap kepemimpinan mereka. Bahkan dalam mendapatkan pendidikan yang layak pun, perempuan senantiasa mendapat tantangan. Berbagai argumentasi agama maupun budaya senantiasa dijadikan pegangan dalam mempersoalkan posisi perempuan di wilayah formal.
Pandangan paternalistik membuat perempuan di Indonesia berada pada posisi subordinat dari laki-laki. Kalimat yang sering diungkapkan di tengah-tengah masyarakat, “Buat apa susah-susah sekolah, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma di rumah mengurus anak...!?” Begitulah kurang lebih tanggapan orang-orang jika mendengar keinginan perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Kendati pandangan tersebut masih ada, akan tetapi saat ini kita dapat melihat di berbagai sektor, peran perempuan mulai nampak. Bahkan di bidang politik, keberadaan perempuan sangat jelas dan banyak mengambil peran dalam berbagai kebijakan penting yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Di berbagai daerah, perempuan mulai banyak yang duduk di lembaga legislatif dan angkanya selalu bertambah setiap pelaksanaan pemilu. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, baik Gubernur, maupun Bupati/Walikota telah dijabat oleh perempuan. Ini menunjukkan berapa perempuan telah banyak menduduki posisi penting di berbagai bidang, khususnya politik.
Bukan hanya itu, di beberapa bidang lain keberadaan perempuan telah menunjukkan peran pentingnya. Mereka telah menunjukkan kemampuannya untuk menjadi seorang pemimpin. Di beberapa perusahaan perempuan mendapat tempat yang layak, bukan hanya sebagai sekretaris pribadi atau costumer service. Akan tetapi para perempuan itu mampu dipercaya untuk menduduki posisi pimpinan.
Kenyataan ini memang berbeda tatkala RA Kartini berusaha membuka cakrawala berpikir orang-orang di zamannya untuk memberi kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Ketika itu, RA Kartina mendapat perlawanan yang sangat keras dari lingkungannya. Ia mendapat perlakukan yang semakin membuatnya tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ia pun dinikahkan pada usia yang masih sangat muda.
Namun karena keresahannya yang tidak mampu dibendung melihat perlakukan terhadap kaumnya, RA Kartini pun hanya mampu menuliskan berbagai keresahannya tersebut dan mengirimkannya kepada temannya. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dikumpulkan dan menjadi sebuah buku yang diberi judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.
Apa yang dirasakan oleh RA Kartini, memang merupakan gelisah dari berbagai perempuan di berbagai penjuru dunia. Hal ini terjadi terutama mulai terjadi pada masa-masa awal abad 19, dimana gerakan perempuan mulai menggeliat di berbagai belahan di dunia, terutama di Barat.
Di Barat, hal yang sama juga dirasakan Elizabeth Blackwill -yang merupakan dokter perempuan pertama di dunia- saat menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849. Ketika itu, rekan-rekannya yang bertempat tinggal dengannya, memboikot Elizabeth dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan tatkala dia bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di Institut tersebut.
Kini apa yang diperjuangkan oleh para perempuan untuk mengangkat derajat kaumnya tersebut telah memperlihatkan hasil yang luar biasa. Saat ini, jumlah perempuan yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, tentu lebih banyak dibanding pada masa tahun 70 - 80 an. Bahkan jumlah ini berkembang begitu cepat dari tahun ke tahun.
Seiring dengan terbuka lebarnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, terbentang pula harapan dan angan-angan yang mungkin dapat diraih di masa depan. Para perempuan telah bercita-cita untuk bekerja di berbagai tempat. Mereka merenda harapan untuk bekerja di kantor dan meniti karir setinggi-tingginya. Sebagian tidak ingin terikat oleh ruang dan waktu di belakang meja. Sebagian lagi ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang berwawasan luas dalam mendidik anak dan berkeluarga. Sementara sebagian lainnya lagi tidak memaksakan diri harus ini atau itu. Yang pasti mereka telah diberi kesempatan membuka segala potensi yang mereka miliki melalui pendidikan di berbagai jenjang.
Dalam bukunya yang berjudul What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women, Danielle Crittenden mengatakan, jika para perempuan generasi lalu dibesarkan untuk meyakini bahwa mereka hanya bisa menemukan jatidiri mereka dengan menjalani kehidupan sebagai seorang istri dan ibu, di masa sekarang ini kebalikannyalah yang dianggap benar; di luar peran-peran itulah kita akan bisa mewujudkan seluruh potensi kita dan nilai diri kita sebagai manusia.
Mencermati fenomena perkembangan potensi perempuan di berbagai bidang, terkhusus di bidang politik, memang haruslah diapresiasi dengan baik. Sebab dasar dari kelayakan untuk menjadi pemimpin atau tidak bukanlah persoalan apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah dia mampu atau tidak memimpin dengan baik, adil dan memberikan kemaslahatan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Oleh sebab itu, tatkala seorang perempuan dianggap baik, layak, cerdas, bijak, adil dan pantas diterima untuk menjadi pemimpin suatu bangsa, maka tidak ada alasan apapun yang dibenarkan untuk membatalkan kepemimpinannya. Sebab tujuan utama dalam kepemimpinan adalah bagaimana sang pemimpin mampu memberikan yang terbaik bagi rakyat yang dipimpinnya. Rasa aman dan kehidupan sejahtera itulah yang rakyat cari dari seorang pemimpin.