Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Rakyat Jadi Tameng

SEJAK jatuhnya rezim Soeharto, ternyata alam demokrasi yang diimpikan oleh rakyat Indonsia setelah 32 tahun berada dalam kungkungan pemimpin yang otoriter masih jauh dari kenyataan. Bahkan jika harus berkaca pada masa lalu, situasi keamanan setelah jatuhnya Soeharto malah semakin tidak terkendali. Euforia kebebasan sepertinya menjangkiti setiap individu di negeri ini.

Jika harus mengatakan, negeri ini ibarat sebuah potret buram. Boleh dikatakan sangat sedikit bagian yang jelas dan menyisakan harapan. Masa depan Indonesia, setelah reformasi hingga hari ini terlihat seperti serba samar. Bayang-bayang demokrasi yang diimpikan pun rasanya kian jauh dari harapan. Bahkan kekerasan dengan mudahnya terjadi. Bukan lagi hanya dilakukan oleh militer, akan tetapi juga telah dilakukan oleh rakyat sendiri.

Kekerasan yang selama masa orde baru hanya dilimpahkan kepada militer, ternyata saat ini juga telah menjadi milik rakyat. Masyarakat malah lebih mudah melakukan kekerasaan baik terhadap militer, elite, bahkan terhadap sesama mereka sendiri. Sepertinya ‘otoritas’ penggunaan kekerasan telah berpidah dari pemilik senjata (militer) ke masyarakat sipil.

Akibat samar —dan bahkan gelap— itulah kita kemudian berupaya menyalakan lampu. Agar kita bisa melihat ke depan dan tidak tersandung-sandung. Terpilihnya beberapa presiden pasca jatuhnya Soeharto tentu dimaksudkan agar mampu mendapatkan lampu penerang yang baik di republik ini. Dengan begitu perjalan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menjadi terang benderang. Akan tetapi, sepertinya lampu di republik ini belum mampu menjadi penerang yang baik. Malah dari hari ke hari sepertinya bertambah redup.

Apa yang kita harapkan dari para pemimpin yang telah menggantikan Soharto ternyata masih jauh dari harapan. Kini kita bahkan diperhadapkan pada ketidakpastian yang berlarut-larut, terutama dalam menjaga ketenteraman masyarakat. Kehidupan demokratis seakan menjadi utopia. Kerinduan rakyat akan kehidupan yang lebih baik setelah jatuhnya Soeharto masih terkatung-katung.

Kekerasan, kasus kasus korupsi yang melibatkan berbagai elite pemerintahan dan elite politik, utamanya para kader partai penguasa menjadi salah satu cerminan betapa bobroknya sistem pemerintahan di negara kita. Itu juga berarti persoalan-persoalan di negara ini begitu banyak yang telah mengakar jauh lebih dalam.

Bukan hanya itu, munculnya kemungkinan konflik horizontal akibat kebobrokan sebuah pemerintahan ternyata juga menjadikan rakyat sebagai korban. Masih ingat kasus pada awal jatuhnya Soeharto dan digantikan oleh Habibie. Rakyat yang menolak keberadaan Habibie dan rakyat yang mendukungnya saling berhadap-hadapan.

Demikian pula ketika Abdurrahman Wahid ingin dilenserkan dari tampuk kekuasaanya. Konflik yang mengerikan antara massa pro dan kontra Gus Dur terlihat jelas. Gerakan yang dilakukan oleh massa anti dan pro Gus Dur, sejak awal, memang berpotensi memunculkan konflik yang bisa memporak-poraandakan tatanan bermasyarakat di republik ini. Sangat jelas terlihat ada faktor irasionalitas yang kental menyelubungi kedua kubu. Kekerasan seperti menjadi solusi satu-satunya untuk mengakhiri kekuasaan Gus Dur.

Pada tingkat lebih di bawah, kasus kekerasan yang trjadi pada level kepemimpinan gubernur atau bupati/walikota juga sangat banyak terjadi. Di beberapa daerah, konflik para elite banyak terjadi. Perebutan kekuasaan atau politik menjatuhkan lawan menjadi pemandangan biasa dalam era reformasi. Namun semua konflik tersebut sangat banyak di latarbelakangi oleh persoalan perebutan kekuasaan dan hak ekonomi.

Konflik elite memang terkadang berujung pada kekerasan. Di beberapa daerah, calon gubernur atau bupati/walikota yang kalah, kadang memprovokasi pendukungnya untuk menjatuhkan pihak yang menang. Dengan berbagai dalih, mereka menguatkan keinginan mereka untuk menbatalkan kekuasaan yang telah jatuh ke tangan lawan politiknya. Dan kekerasan kadang menjadi tujuan. Kasus pengrusakan atau pembakaran rumah jabatan gubernur atau bupati/walikota pun terjadi.

Mungkin masyarakat tak begitu menyadari, bahwa dari konflik elite tersebut yang sering menjadi korban adalah masyarkat sendiri. Agaknya kalimat yang mengatakan jika “Gajah bertarung sesama gajah, maka pelanduk yang akan mati di tengah-tengah, bahkan tanaman-tanaman yang berada disekitarkan akan merana” memang benar.

Kenyataan inilah yang kini sedang kita saksikan di republik ini. Massa yang dalam realitas keseharian sesungguhnya amat berjarak dengan para pemimpinnya itu, ternyata amat mudah dibangkitkan “kebersamaannya” ketika sang elite terdesak. Mereka bahkan dengan mudah disulut kemarahannya kendati mereka tak begitu mengenal orang yang dibelanya. Terlebih jika semua itu dilandasi oleh kepentingan dan politik uang, maka massa pun dengan mudah dapat dikerahkan untuk memenuhi ambisi para elite.

Itulah kenyataan yang terjadi di negeri ini. Rakyat yang sering disia-siakan oleh para pemimpin dan elite, tetapi pada saat-saat tertentu mereka justru dicari-cari. Rakyat yang sering dikhianati, justru mereka mampu menjunjung tinggi amanah yang diberikan. Rakyat yang senantiasa dihabisi hak-hak politiknya justru mampu mengangkat hak-hak politik para elite yang tersandera oleh elit yang lain.

Tapi begitulah rakyat, baik yang tulus maupun yang bergerak karena uang. Mereka seringkali ditinggalkan tatkala semua ambisi tercapai. Kekuatan rakyat pendukung digunakan sebagai alat untuk menggertak lawan-lawan politik atau mereka yang ingin melakukan peralawan terhadap kekuasaan. Masing-masing pemimpin akan terus memanfaatkan kekuatan massanya untuk saling menakar kekuatan. Dan, panggung politik kita agaknya akan terus berwarna kelabu seperti itu.

Kini, sungguh begitu jelas, adanya perpindahan “otoritas” atas kekerasan dari militer ke sipil. Tatkala kekerasan terus berusaha kita singkirkan dari dominasi militer, kita justru sedang memunculkan kekerasan baru di tingkat massa. Bahkan rakyat sipil sepertinya “memegang kendali” atas kekerasan yang terjadi.

Diaspora kekerasan telah terjadi di republik ini. Bahkan semua terjadi begitu terbuka. Para elite kerap menggunakan massa sebagai tameng dalam melindungi dan melaksanakan hasrat politiknya. Nafsu politik para elite seringkali menggunakan rakyat sebagai kekuatan penekan yang sangat efektif dan murah.

Kini, rakyat memang tidak lagi berada dalam sebuah kerangkeng atau kungkungan penguasa yang otoriter. Rakyat bukan lagi mahluk hidup yang tak boleh bersuara, terlebih melontarkan berbagai keresahan kepada pemerintah seperti zaman Orde Baru. Akan tetapi, di tengah kebebas-annya tersebut rakyat juga sedang dibenturkan-benturkan diantar mereka. Tapi justru inilah yang menjadi kekhawatiran. Karena benturan sesama rakyat di tengah-tengah peran aparat keamanan atau kepolisian yang serba canggung dalam bertindak, sangat berpeluang akan menimbulkan akibat yang amat mengerikan.

Melihat kenyataan itu, justru rakyat seharus-nya mulai belajar untuk bertindak secara rasional. Mereka seharusnya sadar akan berbagai permainan kekuasaan kaum politikus atau para elite yang ingin memanfaatkan mereka. Mereka seharusnya kian memahami bahwa penguasa boleh saja berganti-berganti, akan tetapi rakyatlah yang akan terus “abadi”. Oleh karenanya, rakyat haruslah tetap bersatu dan tak boleh terprovokasi oleh siapa saja termasuk kaum demagog.

Memang seharusnyalah rakyat kini bangkit dan sadar akan pentingnya keberadaan mereka, khususnya bagi para elite dan penguasa. Karenanya, rakyat seharusnya memberi pelajaran bagi para elite bahwa dalam berbagai hal mereka boleh saja berbeda pendapat, terlebih dalam berpolitik, akan tetapi mereka bukanlah lawan yang harus saling menghancurkan. Mereka tetaplah manusia yang seharusnya saling menjaga dan memelihara kebaikan di antara sesama. Dan rakyat bukanlah tameng yang akan selalu siap untuk dikorbankan demi kepentingan para elite dan penguasa.