Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan yang Terbaring dalam Lilin

Cerpen Idwar Anwar

Kutemukan perempuan itu terbaring lenguh di pojok kamar, di atas kasur empuk. Air mata yang membasahi pipinya yang mulai keriput, mengalir membentuk lekuk yang begitu sulit kumaknai. Ia menatapku sembari menarik kedua ujung bibirnya membentuk selarik senyum.

Sejak kusadari kehadirannya dalam hidupku, sangat sulit kusaksikan ia tersenyum tanpa air mata yang menggenangi sudut matanya; menyerupai bola-bola embun yang menempel di rumput-rumput. Hampir setiap hari, ketika malam kian renta, ia terbangun dan melangkah ke luar kamar. Ketukan pintu yang bunyinya lebih mirip dentuman meriam, karena diketuk dengan penuh kemarahan, telah memaksanya untuk terbangun. Lalu lamat-lamat kudengar suara pintu terbuka diiringi bentakan seorang lelaki yang sejak kusadari kehadirannya, membuat hari-hariku dihantui ketakutan. Tidak begitu lama, dentingan benda-benda yang dilemparkan, suara kelepak dan jeritan perempuan itu terdengar membahana di malam yang pekat dan pahit. Kemudian, makian lelaki itu mengalir mengiringi langkah kakinya yang diayun seperti kesetanan menuju kamar. 

Aku menarik nafas panjang. Di sampingku, bantal tempatnya membaringkan kepenatan jiwanya masih tergolek. Ia kini berpindah ke dalam kamarnya bersama lelaki yang di mulutnya dipenuhi ulat. Suara tangisnya lenguh seperti tersumbat oleh bantal atau mungkin oleh sesuatu yang lain. Entahlah, yang pasti lelaki itu tidak lagi mencaci. Ia malah kudengar sesekali mendesah, lalu mengerang....

Suatu hari yang lain, kulihat lelaki itu datang dalam keadaan sempoyongan, mencaci: perempuan celaka; tak tahu diri; perempuan kotor; tak mampu memberi keturunan dan masih banyak lagi makian yang terus menampar ketegarannya. Dengan garang ia menjambak rambut perempuan itu, menampar wajah dan memukuli tubuhnya. Dan sekali lagi, perempuan itu hanya melolong, tersedu dan kemudian memaksa diri menarik segaris senyum saat menatapku.

Aku hanya menghela nafas. Tak ada perlawanan sedikitpun yang ia lakukan. Mungkin berniat juga ia sudah tak mampu. Tapi itulah dia, perempuan dengan ketegarannya sendiri, dengan pandangannya sendiri tentang sebuah kesetiaan, pandangannya tentang sesuatu –yang setelah remaja- kusebut sebagai ketololan seorang perempuan.

Semua peristiwa itu berlalu dan memahat sebongkah kepribadian dalam diriku. Aku lalu tumbuh hampir tanpa kasih sayang. Nyaris hari-hariku hanya dihiasi dengan isaknya yang menyayat di antara cacian, desahan dan erangan lelaki itu. Aku juga nyaris tak pernah bertemu muka dengan lelaki itu, apalagi melihat wajahnya lengkap dengan detail-detail guratan yang melintang di permukaannya. Dan jika pun terpaksa bertemu, ia selalu memenjarakanku dalam taring-taringnya dan mengoyak tubuhku dengan kukunya. Mulutnya yang bau comberan, sungguh liar memuntahkan kata-kata yang menyakitkan: anak haram. Setelah itu, pukulan lantas menimpa tubuhku yang masih mungil.

Sungguh, saat itu aku benar-benar tak mengerti. Dan perempuan yang kini kupanggil ibu itu hanya terisak. Wajahnya kulihat membeku. Garis-garis ketuaan kian dalam terpahat. Matanya yang sesungguhnya bening nyaris tertutup kabut. Tatapannya sayu, seolah tak ada kehidupan di sana, seperti pagi itu.

Lelaki berwajah batu itu kembali berlalu. Seperti pagi-pagi yang lain, ia hanya meninggalkan makian; menyisakan pilu; berlalu bagai badai. Dan setelah kepergiannya, perempuan itu menggendongku, membawaku ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan mengganti pakaianku.

Aku terus tumbuh dan berkembang, menjalar dalam sebuah dunia yang kerap membuatku meringkuk dalam kegamangan. Wajah kaku dan mulut berulat lelaki itu membuatku sulit memotret gambaran dunia yang lebih ceria dan renyah. Dan perempuan itu, hanya menatap pasrah, meski terhadapku ia terus berusaha memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya.

Hari terus berlalu, bulan dan tahun pun berlomba meninggalkan goresan dalam hari-hariku. Dan aku kemudian memasuki dunia remaja, dunia yang sebenarnya riang serta penuh dengan bunga-bunga mimpi dan harapan. Namun, beginilah aku. Aku hanya dapat memintal keriangan itu dalam anganku. Sebagai seorang perempuan yang mulai beranjak remaja, aku begitu sulit menggapai harapan-harapan yang indah. Bayangan kata anak haram yang sering keluar dari mulut lelaki itu, sungguh sering mengiang di telingaku, merakit kerangkeng tersendiri bagi ketakutanku.

Lelaki itu sungguh sulit menerima kehadiranku. Kepada setiap rekannya yang datang ke rumah, jika tanpa sengaja aku melintas, aku hanya diperkenalkan sebagai anak dari saudara perempuan itu. Setelah itu, sorot matanya lantas menghujam jantungku, seperti memaksaku untuk segera menyingkir. Dan perempuan itu, hanya terdiam, mengangguk dan membawaku pergi. Kejadian seperti ini selalu terjadi sejak aku menyadari kehadiran keduanya dalam hidupku. Sejak aku menyadari bahwa hidupku adalah nyanyian sunyi dalam dunia yang retak dan gamang.

Karenanya, aku pernah berpikir untuk jadi kupu-kupu, burung atau apa saja dan terbang keluar dari peta tanah dalam nadiku yang telah koyak. Aku ingin terbang melintasi negeri sunyi ini, negeri yang penuh angkara yang telah membelengguku, yang membuatku nyaris hidup tanpa kasih sayang.

Ah, rasanya aku hendak menjeritkan selaksa kesepianku yang panjang, yang kerap membentuk genangan di lekuk mataku. Lelaki itu... perempuan itu... telah mengajarkan aku tentang hidup. Ya, tentang hidup yang retak. Sebuah kepolosan, kesetiaan, ketulusan sekaligus ketololan seorang perempuan. Juga keberingasan, angkara dan muntahan ulat-ulat dari mulut kotor seorang lelaki yang tak mampu menerima kenyataan.

Tapi, sepertinya semua itu hanya tinggal khayalan. Sejumput pun kekuatan yang kumiliki untuk melakukannya, tak ada. Perempuan itu, ya... perempuan itu telah merenggut semuanya, bahkan anganku. Entah, aku begitu mencintainya. Sorot matanya yang berkabut, senantiasa memporak-porandakan pemberontakanku. Dan setelah kusadari, betapa pun kukatakan bahwa perempuan itu juga telah mengajariku ketololan seorang perempuan, namun aku tak mampu membencinya. Justru cintaku kian membuncah, meski di rumah ini matahari seperti terbelah. Tahun-tahun yang kulalui juga luka parah, menetesi hari-hari yang membawaku menjalari kehidupan.

           

***

 

Semua itu terjadi, ketika suatu hari yang panas, lelaki itu kembali datang dengan kekejamannya yang lebih dari hari-hari sebelumnya. Mulutnya yang dipenuhi ulat yang terus menyembur, saat itu juga telah mengeluarkan kalajengking. Tangannya begitu ringan terayun ke tubuh perempuan itu, juga ke tubuhku. Kami berdua benar-benar dalam jeruji taring-taringnya yang ganas. Aku menjerit sekencang-kencangnya. Dan perempuan itu hanya bersedu. Wajah dan tubuhnya memar. Di sudut bibirnya yang biasa menyunggingkan senyum untukku, mengeluarkan darah.  

Dengan ganas pula, mulut iblisnya mengeluarkan ulat, kalajengking, tikus got, bercampur lendir comberan yang bau. “Saat ini juga kau kuceraikan! Bawa semua pakaianmu dan juga anak haram ini keluar dari rumah ini! Tak sudi aku memelihara anak sialan ini. Aku tak tahan lagi, hidup dalam gelisah.”

Suaranya melengking, memporak-porandakan ketegaran perempuan itu. Tapi perempuan itu, sekali lagi hanya terisak. Ombak yang menggila, pecah di bola matanya. Ia mengambil pakaiannya dan pakaianku lalu melangkah tegar. Tak ada sesal di raut wajahnya, meski tatapan mata itu tetap berkabut.

Apa yang kusaksikan dan kualami hari itu, bagai sebuah drama pembantaian. Dan aku, sejak peristiwa itu, begitu terkoyak. Ketersiksaan telah membentuk segumpal dendam dalam hati. Aku hendak membumbung tinggi dan hinggap di hati setiap laki-laki yang dingin bahkan membara sekalipun, dan menari sembari melantunkan orkestra kepak sayap-sayapku yang beku, lalu menghujam jantung mereka dengan belati.

Perempuan itu lalu melangkah menyusuri hari-hari tanpa sempat lagi menghitung usia. Yang ada dalam benaknya hanyalah bagaimana bertahan hidup dan membiayai sekolahku. Maka, ia pun harus bekerja keras. Menjadi pencuci pakaian di sebuah kompleks elit, menjual kue yang dijajakkan dari rumah ke rumah, hingga dari took ke toko, dilaluinya tanpa mengeluh sedikitpun.

Saat langganannya bertambah banyak, sesekali aku membantunya. Membuat kue di rumah yang  kami kontrak dari hasil kerja kerasnya dan sesekali mengantar langsung ke toko-toko langganan. Hari-hari yang kami lalui sungguh bahagia. Kulihat wajahnya kian cerah. Seperti ada gairah baru yang mendekapnya. Ketegaran telah membuatnya penuh semangat dalam memandang hidup. Seperti tak ada keburaman masa lalu yang pernah ia alami.

Tapi dendam itu tentu tak begitu mudah sirna dari diriku. Dendamku malah kian meruncing dan siap mengoyak-ngoyak masa lalu. Dengan modal kecantikan dan kemolekan tubuh, aku terus terbang mengembara dan hinggap di hati setiap lelaki yang mabuk denganku. Aku menari dan melantunkan nyanyian kepedihan sambil menghunjamkan belatiku ke jantung mereka. Mereka terkapar, meringis, dan meregang. Kuambil kuping, kelamin, dan bibir mereka lalu kumasukkan ke dalam celengan. Begitu juga dengan bagian tubuh mereka yang lain. Aku ingin mengumpulkan potongan-potongan tubuh mereka dan membentuknya menjadi lelaki itu, lantas kukubur dalam-dalam. Ya, lelaki bermuka batu dengan ulat yang bersemburan dari mulutnya.

* * *

Jika ditanya tentang siapa perempuan yang paling berharga di dunia ini, maka aku akan menjawab, dia adalah perempuan yang terbaring dalam lilin. Perempuan itu telah mengajarkan aku tentang arti sebuah ketabahan, kesetiaan, dan pengabdian pada seseorang yang dicintai. Sekaligus juga mengajarkan aku, apa arti sebuah kelemahan seorang perempuan yang kusebut sebagai sebuah ketololan.

Meski kulihat wajahnya telah pupus, namun apinya masih tetap menyala menerangi hari-hariku; berjuang membakar dirinya demi menantang kegelapan. Selarik senyum yang ditarik dari kedua ujung bibirnya senantiasa memupus goresan dendam dari jiwaku, sekaligus menanamkan dendam baru. Sebab, di situ pulalah kulihat lelaki itu dengan wajah garang datang menampar cahayanya.

Ah, tapi tidak. Aku harus sadar bahwa hidup ini adalah serangkaian aturan-aturan; sebuah perjodohan yang abadi. Bukankah perempuan itu telah mengajarkan aku tentang ketabahan, kesetiaan dan pengabdian? Atau mungkinkah itu cinta?

Maka, ketika aku menyadari semuanya, aku tersentak saat menemukan seorang lelaki yang membuatku tak kuasa menghunjamkan belatiku ke jantungnya. Dan aku ternyata tak mampu berbuat apa-apa. Hanya mampu menyaksikan rinai dengan kepak sayapku yang koyak dan ujung belatiku yang seketika saja tumpul dan berkarat.

Di sini, di dalam sebuah restauran yang kurasakan tiba-tiba lebih sepi dari padang musim bisu, aku tak mampu lagi terbang dan hinggap pada seorang lelaki yang kini duduk di hadapanku, terlebih harus menghunjamkan belati ke jantungnya. Dan di malam yang dingin itu, kudengar bunga-bunga yang tumbuh di taman restauran menjeritkan hari-hari yang terluka. Sementara lelaki di hadapanku itu terus bercerita. Aku tafakur mendengar percakapannya tentang aku. Ya, tentang aku yang begitu ingin menikmati badainya.

Di hadapanku, sepotong lilin menyala riang. Di dalamnya kulihat perempuan yang telah kusebut ibu itu tergeletak. Wajahnya redup. Lamat-lamat. Perempuan dalam lilin itu terus menyembulkan cahaya; terang... pupus... terang... pupus.... Bayanganku pun digiring mengembara ke dalam tahun-tahun purba.

“Aku ingin melamarmu,” kata lelaki itu tiba-tiba mengagetkanku seraya meraih jemariku dan menggenggamnya dengan lembut.

Kulihat sorot matanya menancap deras di bola mataku. Seperti saat-saat yang lalu, aku kembali tergeragap. Sungguh sangat berbeda ketika aku berhadapan dengan lelaki lain. Dan seperti biasa, sekuat tenaga aku kembali membenahi perasaanku yang kian galau. Terlalu sering aku mendengar kalimat itu dari bibirnya. Tapi seperti hari-hari yang lalu, aku hanya terdiam. Tak kuasa aku memberinya jawaban. Kalimat itu hanya kubiarkan menguap di udara.

Tapi kali ini lelaki itu tidak membiarkan kalimatnya kutanggapi dengan diam. Ia terus memburuku, hingga aku tersudut. Dengan segala keberanian kuceritakan sejarah buram kehidupan yang ingin kusingkirkan, terlebih lelaki yang telah kejam menampar cahaya dari wajah perempuan itu; perempuan yang kusebut ibu, yang telah mengajarkan aku tentang hidup.

Setelah semuanya kuceritakan, lelaki itu hanya terdiam. Wajahnya merunduk, menyorotkan matanya membentur lantai yang gelap. Lalu diam. Tak sepotong pun kalimat yang meluncur dari bibirnya. Terlebih saat kutanya kesanggupannya untuk tidak menjadi lelaki itu: lelaki yang telah mengoyak masa laluku dan masa lalu perempuan yang kusebut ibu.

Tidak berapa lama, lelaki yang duduk di hadapanku itu kembali mengangkat wajahnya. Kulihat sorot matanya redup. Dan ah... di sana, di kedalaman matanya, kutemukan lelaki itu. Ya, lelaki berwajah batu dengan ulat yang menyembur dari mulutnya. Lelaki yang ingin kukubur dalam-dalam. Begitu dalam. Dalam sekali.

“Ibu maafkan aku! Aku begitu membencinya!”

 

Makassar, 2005

Pedoman Rakyat, 9 April 2006