Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Idul Adha: Rekonstruksi Ruang-Ruang Simbolik


Oleh Idwar Anwar

Idul Adha atau Idul Kurban oleh penganut agama Islam merupakan sebuah ritual tahunan yang dilaksanakan secara turun temurun dalam konteks keberagaman. Meski demikian ritual yang berlangsung dari generasi ke generasi ini ternyata semakin hari semakin dirasakan hambar dan kian tak memiliki kekuatan. Sukma ritual ini seperti tercerabut dari ruang-ruang simbolik yang dibawanya.

Jika ditilik lebih jauh, umat Islam, utamanya masyarakat awam, sepertinya hanya melihat Idul Kurban sebagai sebuah wacana religius yang diwariskan dari pendahulu yang harus terus dipertahankan, tanpa mesti mengetahui ruang-ruang simbolik apa yang terkandung dalam ritual tersebut. Dalam kondisi demikian, umat Islam, utamanya generasi muda yang kehidupannya telah dicekoki oleh konsep kapitalis-materialis, hedonis, yang cenderung konsumtif dan individualis akan semakin sulit menemukan pemahaman yang mendalam tentang hakikat Idul Kurban yang dilakoni setiap tahun. Karenanya, dalam melakoni ritual Idul Kurban, hakikat sesungguhnya menjadi terlupakan. Masyarakat hanya disibukkan oleh permainan simbolik yang acap kali diperdebatkan.

Idul Adha sebagai bagian dari proses spiritualitas, seharusnya dipahami sebagai sebuah ruang dimana dinamisasi simbolik harus terus berjalan tanpa harus digantikan dengan simbol-simbol lainnya. Sebab, jika ditelisik secara seksama, Idul Adha pada hakikatnya merupakan sekumpulan ruang-ruang simbolik tentang cinta dan pengorbanan umat manusia terhadap sesama dan penciptanya.

Idul Adha melahirkan simbol pengorbanan yang sangat tinggi dari seorang hamba Allah yang lebih mencintai Allah SWT daripada manusia, bahkan pada anak sendiri. Ruang-ruang cinta dan pengorbanan merupakan ruang simbolik yang dibangun dalam kultur yang berbeda, namun dapat dipahami dan berlaku secara universal.

Dalam perayaan Idul Adha ruang-ruang ini seharusnya diapresiasi secara menyeluruh dan tidak parsial, serta penuh antusias, sehingga makna dari Idul Adha tetap tersimpan dalam ruang-ruang keberagaman sebagai manusia biasa tempat berkumpulnya segala khilaf. Jadi Idul Adha bukan hanya sebagai manifestasi pengorbanan materi, tetapi juga pengorbanan cinta lahiriah kita kepada semua benda yang ada di dunia demi memperoleh hakikat cinta dari Allah SWT.

***

 Dalam berbagai serpihan catatan sejarah dijelaskan bahwa salah satu latar belakang pelaksanaan ritual kurban yang sampai saat ini terus berlangsung setiap perayaan Idul Adha adalah berangkat dari ritual pengorbanan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Dalam ritual tersebut Nabi Ibrahim, yang sebelumnya mendapat mimpi, rela untuk menyembelih anaknya sendiri (Ismail), meski kemudian (sebelum Ismail disembelih) digantikan dengan seekor kibas (semacam kambing). 

Walaupun demikian, pergolakan batin Nabi Ibrahim ketika itu merupakan sebuah pergolakan yang maha dahsyat. Ia harus melawan berbagai godaan, mulai dari yang mengatakan bahwa mimpi tersebut hanya merupakan bisikan Iblis, sampai pada godaan kecintaannya kepada anaknya yang telah begitu lama didambakannya.

Pergolakan batin ini memang sangat pantas terjadi, apalagi jika harus merujuk pada sebuah pertanyaan, ”apakah benar Allah SWT memerintahkan umatnya (Nabi Ibrahim) untuk membunuh, terlebih harus membunuh anak kandung sendiri?” Pergolakan batin yang juga sangat menyiksa Nabi Ibrahim adalah jika mimpinya tersebut benar-benar merupakan perintah dari Allah, haruskah ia rela membunuh anak satu-satunya yang telah bertahun-tahun dinantikannya? Anak yang dengan segala kemampuan serta doa yang tak pernah henti-hentinya dipanjatkan kepada Allah SWT, harus dikorbankan begitu saja. Padahal Nabi Ibrahim baru beberapa lama merasakan kebahagiaan bersama anak satu satunya yang telah bertahun-tahun dinantikannya hadir dan mengisi hari-harinya.

Berbagai keraguan silih berganti mendera batin Nabi Ibrahim. Ia sangat tahu bahwa apa yang dialaminya ketika itu merupakan sebuah penyiksaan yang begitu berat sebagai seorang manusia biasa. Namun, ia juga sadar bahwa apa yang dialaminya tersebut juga merupakan sebuah karunia yang maha dahsyat yang harus diterimanya sebagai wujud penghambaannya kepada Allah SWT.

Di sinilah seorang Nabi Ibrahim mengalami sebuah pergolakan yang benar-benar telah sampai pada titik nadir, dimana ia harus mempertaruhkan segala yang ia miliki sebagai bukti penghambaannya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim dengan segala keterbatasan dirinya sebagai manusia biasa harus berhadapan dengan realitas, dimana kemanusiaan dan kecintaannya juga harus dipertaruhkan untuk sebuah kecintaan hakiki kepada Sang Khalik.

Pada saat itu, rasanya ruang-ruang kemanusiaan Nabi Ibrahim benar-benar dijejali oleh ribuan duri yang harus diterjemahkannya menjadi ribuan kuntum bunga dari sebuah refleksi penghambaan secara totalitas. Tapi itulah cinta. Pengorbanan apa pun merupakan wujud dari penghambaan sang pencinta kepada Sang Kekasih.  

Kekuatan cinta yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim merupakan sebuah wilayah non-existent (ketidak-beradaan) yang telah mampu merenggut totalitas kediriannya sebagai seorang pencinta yang begitu saja diserahkannya pada Sang kekasih. Nabi Ibrahim memang telah berada dalam wilayah penghambaan yang hakiki, dimana manifestasi kediriannya telah berada dalam ranah kekuasaan Sang Kekasih.

Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim untuk menunjukkan kecintaannya kepada Allah SWT yang melebihi kecintaannya kepada siapa pun di dunia ini adalah pencerminan sebuah pengejawantahan kecintaan yang di luar batas-batas logika kemanusiaan. Nabi Ibrahim telah sampai pada ranah penghambaan hakiki, hingga melahirkan kecenderungan peleburan diri kepada Sang Khalik.

Lalu, adakah yang mampu mengalahkan sebuah keyakinan yang kaffah dari seorang Sang Pencinta terhadap Kekasihnya? Sebuah keyakinan yang mampu meluruhkan segala kedirian sebagai seorang manusia yang berada dalam kungkungan kefanaan, untuk kemudian hadir dalam peleburan diri di pangkuan Sang Kekasih. Kecintaan Nabi Ibrahim pada dunia fana, telah membawa dan mengajarinya menjadi pencinta yang hakiki.   

***

Perjalanan spiritual (pilgrimage) Nabi Ibrahim, bagi umat Islam, bukanlah sebuah wacana klasik yang kemudian –oleh sebagian orang-- diterjemahkan dalam konteks kekinian sebagai sebuah kebodohan religius-kultural. Perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang telah melakukan penyerahan diri kepada Allah SWT adalah sebuah pengejawantahan dari kecintaan dan pengorbanan dari seorang hamba.

Dalam konteks tersebut, umat Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkaran ritual spiritual tersebut hadir dalam konteks yang lebih menggairahkan. Dengan demikian umat Islam akan dapat lebih memahami hakikat perjalanan spiritual (pilgrimage) Nabi Ibrahim.

Selain itu, upaya merekonstruksi kembali ruang-ruang simbolik tanpa harus mengganti simbol-simbol tersebut dan hakikat yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah keharusan sebagai umat Islam. Ruang-ruang simbolik yang terkandung dalam ritual pengorbanan merupakan ruang-ruang yang harus kembali dibangun dalam wilayah kesadaran keberagaman. Dengan demikian, ruang-ruang pengorbanan dan cinta kepada Allah yang kian terkikis dalam, terus tumbuh dan menjadi bagian terpenting dalam kehidupan beragama umat Islam.

 

Makassar, 20 Desember 2006

 Tulisan ini telah dimuat di Harian Fajar