Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Latinisasi Aksara, Matikan 4 Aksara di Sulawesi Selatan

Oleh Idwar Anwar

Proyek rekayasa budaya yang dilakukan penjajah Belanda di masa lampau, terlah berakibat fatal bagi perkembangan aksara di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Proyek Latinisasi atau Romanisasi aksara-aksara yang ada di tanah air ini terjadi pada abad ke 19, hingga awal abad ke 20. Namun secara resmi telah dimulai sejak diberlakukannya penggunaan pedoman ejaan bahasa Melayu oleh pemerintah Belanda.

Pemberlakuan ejaan yang diinisiasi Charles A. van Ophuijsen yang kemudian dikenal dengan ejaan van Ophuijsen ini merupakan pedoman resmi ejaan yang pertama diterbitkan pada tahun 1901. Penyusunan ejaan ini dilakukan Charles A. van Ophuijsen bersama Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim (Sudaryanto, 2018). Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata dalam bahasa Melayu berdasarkan model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan aksara Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda.

Bahasa Melayu yang kini digunakan sebagai bahasa resmi yang dikenal dengan bahasa Indonesia ini pun mengalami perubahan penulisan. Bahasa Melayu yang sebelumnya menggunakan aksara Arab Melayu atau di Sulawesi Selatan dikenal dengan Uki’ Serang (Aksara/Arab Serang) ini, kemudian diubah menggunakan aksara Latin yang digunakan di Indonesia hingga saat ini.

Tidak dapat dipungkiri, keberadaan dan peran Charles A. van Ophuijsen dalam memperkenalkan dan mengubah aksara Arab Melayu menjadi aksara Latin ini sangat besar. Profesor Charles. A. van Ophuijsen merupakan pengajar bahasa dan sastra Melayu, tata bahasa komparatif bahasa Kepulauan Hindia Timur, bahasa Minangkabau dan Batak.

Selain itu, seperti yang ditulis C. Van Arendonk “Oriental Literature” dalam A General View of The Netherlands, Number XVI, Science (1915: 136), banyak kontribusi van Ophuijsen mengenai tata bahasa dan leksikografi bahasa Melayu di “Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap” (Periode Masyarakat Batavia), ia juga menerbitkan “Maleische Spraak kunst” (Leiden, 1910); “Maleisch Leesboek'” (Malay Reader, 1912; beberapa edisi teks, antara lain “Bataksche Teksten (Dialek Mandailing) yang terbit pada 1914; dan beberapa buku bahasa dan sastra lainnya.

Akibat masifnya penggunaan aksara Latin ini, perlahan-lahan, utamanya karena pengajaran di sekolah-sekolah pemerintah Belanda menggunakan aksara Latin, maka orang-orang pribumi yang mengenyam pendidikan Belanda pun ikut larut dalam penggunaan aksara Latin. Terlebih melalui lembaga penerbitan yang didirikan Belanda yang bernama Kantoor voor de Volkslectuur yang kemudian dikenal dengan Balai Pustaka, banyak memproduksi buku-buku yang menggunakan aksara Latin. Belum lagi ditambah dengan diterbitkannya beberapa majalah berbahasa Melayu yang telah menggunakan aksara Latin.

Kendati Balai Pustaka yang didirikan dengan nama Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) pada tanggal 15 Agustus 1908 bertujuan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah di Hindia Belanda, namun proyek latinisasi tersebut perlahan-lahan mematikan aksara bahasa daerah yang ada di Indonesia. Akibatnya, masyarakat penutur bahasa daerah tidak lagi mampu menggunakan, bahkan membaca aksara bahasa daerahnya sendiri.

Matinya Aksara di Sulawesi Selatan

Di Sulawesi Selatan pernah hidup 4 macam aksara yang dipakai masyarakat, yakni 1) aksara lontaraq lama dan baru, 2) aksara jangang-jangang, 3), aksara Arab Serang dan 4) aksara Bilang-Bilang. Namun hingga kini hanya aksara lontaraq yang berhasil bertahan, itupun telah punah dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari dan hanya terlihat pada manuskrip-manuskrip kuno. 

Jauh sebelum kemerdekaan, penggunaan aksara Lontaraq, Jangang-jangan, Arab Serang dan aksara Bilang-bilang banyak mengisi manuskrip-manuskrip di masyarakat Sulawesi Selatan. Bukan hanya dalam komunikasi atau sebagai penyampai pesan biasa, namun penyebaran pengetahuan pun dilakukan melalui media aksara tersebut.

Hingga akhir abad ke 19, penggunaan keempat aksara tersebut masih digunakan, utamanya aksara Lontaraq. Akan tetapi, di awal abad ke 20, terlebih setelah kian masifnya latinisasi terhadap aksara di Hindia Belanda, sangat berdampak pada penggunaan aksara tersebut. Termasuk pembentukan Komisi Bahasa Indonesia oleh Jepang pada 20 Oktober 1942 dan Komite Kerja Bahasa Indonesia bentukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1947 yang mempercepat latinisasi aksara di tanah air.

Masifnya penggunaan aksara Latin, bahkan setelah Indonesia merdeka berdampak serius terhadap penggunaan berbagai bahasa, utamanya aksara yang jauh sebelumnya sudah mapan. Hal ini sangat terlihat jelas di Sulawesi Selatan, dimana pemakai aksara tersebut telah hilang. Aksara Lontaraq yang selama ini bertahan hingga awal abad ke 20 pun tak dapat lagi ditemukan dalam penggunaan sehari-hari di masyarakat.

Revivalisasi Akrasa Lontaraq dalam Masyarakat Sulawesi Selatan

Dalam undang-undang pemajuan kebudayaan nomor 5 tahun 2017, pemerintah kembali memperkuat perhatiannya pada pemajuan kebudayaan, termasuk aksara. Oleh karena itu, pemerintah Sulawesi Selatan tentunya juga harus hadir dalam melindungi budaya daerah dan warisan budaya yang ada di Sulawesi Selatan.

Pemerintah harus mengangkat, membina dan memelihara nilai-nilai tradisi di Sulawesi Selatan yang merupakan jati diri dan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan di tengah-tengah masyarakat yang multikultural. Karenanya, dibutuhkan peningkatan pemahaman, kesadaran, kepedulian, dan partisipasi masyarakat terhadap revivalisasi kebudayaan di Sulawesi Selatan, termasuk aksara Lontaraq.

Oleh karena itu, aksara Lontaraq yang merupakan satu-satunya peninggalan yang masih berpeluang besar untuk kembali dihidupkan membutuhkan perhatian besar dari pemerintah Sulawesi Selatan. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, antara lain perlu adanya Peraturan Daerah tentang penggunaan aksara Lontaraq, seperti yang telah digagas pada acara Festival Aksara Lontara yang dilaksanakan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan sejak 2020 yang kini akan dilaksanakan untuk ketiga kalinya.

Dalam rekomendasi yang dihasilkan pada seminar tahun 2020 lalu, ada beberapa hal penting yang perlu ditindaklanjuti yakni: Perlu adanya penetapan Hari Aksara Lontaraq; Pemberlakuan wajib pembelajaran Mata Pelajaran Aksara Lontaraq di sekolah; Pemilihan Duta Lontaraq secara berkala; Kewajiban penggunaan aksara Lontaraq pada setiap nama jalan dan instansi, baik pemerintah maupun swasta; Penggunaan baju atau berbagai aksesoris bermotif huruf Lontaraq sebagai ornamen dasar, khususnya untuk instansi-instansi pemerintah; Menumbuhkan dan mengembangkan komunitas-komunitas kreatif yang bergelut di bidang revitalisasi dan revivalisasi aksara Lontaraq; Mendukung penerbitan buku-buku yang menggunakan aksara Lontaraq; Menyelenggarakan secara berkala (tahunan) Festival Aksara Lontaraq; Memberikan penghargaan kepada tokoh pelestari aksara Lontaraq; dan Memberikan penghargaan kepada lembaga/instutisi yang mendukung sosialisasi dan mempraktikkan penggunaan aksara Lontaraq.

Hal ini tentu menjadi sangat penting untuk mengembalikan kejayaan aksara daerah di Sulawesi Selatan. Terlebih dalam konteks pemajuan kebudayaan, aksara merupakan salah satu elemen penting yang harus dilestarikan, bahkan dapat menjadi kekuatan besar dalam strategi kebudayaan di masa akan datang. Bukankah di dunia ini hanya sedikit yang memiliki aksara!

Makassar, 2022

 

* Tulisan ini telah dimuat pada 14 Maret 2022 di Tribun Timur  (Cetak)