Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemilukada dan Kekerasan

 

Konflik yang berujung pada kekerasan dalam Pemilukada akhir-akhir ini sepertinya telah menjadi ritual tersendiri pada setiap pelaksanaan Pemilukada, baik pra pemilihan, hari pemilihan, hingga pasca pemilihan. Konflik dan kekerasan memang telah membuat pesta demokrasi di tingkat daerah ternoda. Alam demokrasi yang selama ini dibangun sejak masa reformasi sepertinya tidak tidak berdampak apa-apa.

Banyak hal yang menjadi persoalan dan menjadi pemicu munculnya konflik dan kekerasan dalam Pemilukada. Kekerasan dalam Pemilukada terjadi antara lain; akibat konflik antara pendukung yang lebih sering dilatarbelakangi konflik elite dan kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan.

Konflik antar pendukung calon gubernur atau bupati/walikota di setiap daerah sepertinya selalu sulit dihindari. Berbagai macam alasan senantiasa menjadi landasan berpikir setiap pendukung untuk melakukan kekerasan. Fanatisme pendukung terhadap calon yang didukungnya inilah yang seringkali membuat situasi pemilihan tidak kondusif. Terlebih semua itu didukung oleh adanya konflik elite yang sangat ingin berkuasa tanpa mengindahkan etika dan kejujuran dalam berkompetisi.

Berbagai kekerasan telah mewarnai Pemilukada di berbagai daerah di Indonesia. Kasus demi kasus terjadi dan tersaji jelas di berbagai media massa. Kasus yang terakhir yang cukup menghebohkan adalah penembakan yang terjadi di Aceh. Dalam beberapa informasi di media massa diberitakan mengenai penembakan yang terjadi terhadap beberapa orang.

Penembakan yang paling mengarah pada adanya konflik yang terkait dengan Pemilukada di Aceh adalah penembakan terhadap rumah milik Asnawi Abdul Rahman. Asnawi adalah koordinator tim sukses calon gubernur Aceh petahana Irwandi Yusuf. Rumah Asnawi yang berada di Desa Beusa Meurano, Peureulak, Aceh Timur itu ditembaki oleh orang yang tidak dikenal pada minggu (5/2/12), sekitar pukul 20.30.

Pada penembakan itu, polisi menduga dilakukan sebagai teror politik terkait pemilihan umum kepala daerah yang akan dilaksanakan pada 9 April 2012. Penembakan tersebut merupakan penembakan ke tujuh dalam satu bulan terakhir. Dan yang ironis adalah enggannya warga untuk menjadi saksi, dengan alasan mereka tidak mau masuk dalam lingkaran masalah.

Kondisi Aceh ini merupakan salah contoh dari sekian banyak kekerasan yang terjadi akibat Pemilukada. Aceh sepertinya merupakan potret kebuntuan dalam sejarah setelah kemerdekaan Indonesia yang telah berumur hampir 67 tahun. Kekerasan di provinsi paling barat Indonesia itu telah menjadi diktator yang mendikte segala bentuk kekerasan. Sejarah panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan latar histori yang sedikit banyak juga memberi peran dalam Pemilukada di Aceh.

Kekerasan memang tidak hanya terjadi antara pendukung calon, akan tetapi juga terhadap penyelenggara pemilihan, maupun aparat keamanan. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi antara lain, pemukulan terhadap penyelenggara pemilihan, hingga pada pembakaran kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di beberapa daerah. Hal ini dilakukan karena salah satu atau semua calon atau pendukung calon yang kalah menganggap bahwa kecurangan telah dilakukan oleh KPUD dalam memenangkan salah satu calon. Karena ketidakpuasan itulah membuat mereka melakukan cara-cara kekerasan untuk melakukan protes.

KPUD memang menjadi salah satu pemegang kunci dari terselenggaranya pemilihan yang bersih, jujur dan dan bermartabat. Akan tetapi realitas di beberapa daerah, posisi KPUD menjadi lahan awal untuk melakukan manipulasi terhadap proses pemilihan.

Beberapa kasus kecurangan dalam proses pemilihan cukup banyak diawali dari keputusan KPUD yang menguntungkan salah satu calon dan merugikan beberapa calon lainnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan kecurangan dari penyelenggara pemilihan ini. Namun yang paling menonjol adalah politik uang dan adanya calon yang memiliki kedudukan penting yang ikut dalam pemilihan.

Biasanya, jika yang ikut bertarung dalam pemilihan gubernur atau bupati/walikota adalah petahana, maka godaan hingga tekanan pada penyelenggara pemilihan akan semakin besar. Ajang rekayasa pun dapat dilakukan dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga di KPUD. Berbagai kecurangan dapat diatur dengan baik, jika pihak penyelenggara telah berada dalam genggaman salah satu calon kontestan.

Kedudukan penting dari salah satu peserta pemilihan (petahana) biasanya ditambahkan dengan pemberian uang kepada anggota penyelenggara pemilihan merupakan tekanan dan godaan yang sepertinya sulit dihindari oleh sebagian penyelenggara pemilihan. Pemberian uang ini dilakukan tentu saja untuk memuluskan pelaksanaan pemilihan yang memenangkan sang pemberi uang. Berbagai rekayasa pun dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Tentu saja semua itu dilakukan untuk memenangkan sang pemberi uang. Inilah yang membuat proses pemilihan yang banyak menimbulkan konflik.

Akibat dari kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan tentu menimbulkan konflik yang sangat sering berakhir dengan terjadinya kekerasan, baik terhadap individu penyelenggaran, maupun infrastrukturnya. Banyak kasus yang terjadi akibat kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Di beberapa daerah terjadi pemukulan atau teror terhadap penyelenggara pemilihan. Bahkan akibat kecurangan yang dituduhkan, baik benar maupun tidak, telah menyebabkan beberapa kantor KPUD dibakar oleh massa pendukung calon yang merasa dicurangi oleh penyelenggara pemilihan.

Konflik yang terjadi di Maluku Utara, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Soppeng dan di beberapa daerah lainnya merupakan potret buram Pemilukada yang ada di Indonsia. Alam demokrasi yang belum lama bertiup telah dicoreng oleh tindakan-tindakan yang melampaui batas-batasa etika dalam berdemokrasi.

Kekerasan akibat Pemilukada memang telah menjadi pemandangan biasa dalam alam demokrasi di Indonesia. Menurut Atmakusumah, wartawan senior yang juga pernah bekerja di kantor penerangan  pada Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta ini, menilai konflik politik yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat euforia politik.  Masyarakat merasa memiliki kebebasan, tetapi kebebasan ini ditafsirkan berlebihan, sehingga tidak hanya cukup dengan demonstrasi dan menyampaikan petisi atau keluhan, masyarakat masih harus merusak.  Demonstrasi belum cukup hanya dengan teriakan, tetapi harus dilanjutkan dengan pengrusakan.

Apa yang terjadi tersebut, salah satunya diakibatkan oleh karena selama 35 tahun kita berada dalam ditekan, tidak dapat kebebasan barang sedikit pun. Namun kini ruang-ruang kebebasan itu terbuka lebar, hingga terkadang melampaui batas-batas etika. Kalau dulu represi dilakukan penguasa, kini represi dilakukan publik. Dan represi ini berakar dari adanya kepentingan yang tidak terakomodir atau dimanipulasi oleh orang lain atau lembaga.

Setiap manusia memang mempunyai kepentingan. Itu sudah pasti. Kepentingan itulah yang membawa manusia untuk senantiasa berfikir dan berbuat. Secara garis besar, perbuatan  manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik sering diidentikkan dengan nilai-nilai kebenaran atau ketuhanan, karena itu disebut sesuai dengan hati nurani. Sementara perbuatan buruk sering diidentikkan dengan kerusakan atau pembongkaran terhadap nilai-nilai kebenaran atau ketuhanan. Dalam bahasa agama perbuatan buruk ini sering disebut lebih dekat dengan syetan, iblis atau atribut negatif lainnya.

Bagaimana sesungguhnya manusia berhubungan dengan manusia lain dalam berbagai interaksi kepentingan, termasuk bagaimana manusia menganggapi kekerasan. Kalangan ahli berbeda pendapat mengenai kecendrungan manusia hidup. Salah satu pendapat mengatakan bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik. Dengan kata lain, manusia mempunyai potensi untuk berbuat positif, konstruktif (membangun) daripada merusak.

Manusia membutuhkan hidup tenang, bahagia, segala kebutuhannya tercukupi. Dalam artian manusia tentu berharap semua kebutuhannya itu dapat terpenuhi. Akan tetapi sering kali manusia menghadapi kendala untuk mewujudkan kebutuhannya tersebut. Berbagai tantangan tidak jarang datang menghadang. Tentu saja seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhannya seorang diri, karenanya manusia harus berhubungan dengan orang lain. Dan disinilah terkadang timbul konflik antar kepentingan.

Pendapat lain tentang perbuatan manusia berasal dari kelompok religius tradisional yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kecendrungan untuk berbuat jahat. Terlebih manusia mempunyai sifat agresif. Konrad Zacharias Lorenz (7 November 1903 - 27 Februari 1989) melihat bahwa manusia mempunyai empat naluri pokok yaitu lapar, seks, ketakutan dan agresivitas. Lorenz, seorang psikologi, zoologi, dan ornitologi berkebangsaan Austria ini bahkan melihat bahwa agresivitas manusia tidak jauh berbeda dengan agresivitas binatang. Karena itu, menurutnya, kekerasan akan terus melembaga dalam struktur hidup manusia.

Adapun dalam pandangan Sigmund Freud (lahir 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia), seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi bahwa manusia mempunyai death instinct (nafsu untuk mati) yang sama kuatnya dengan life instinct (hasrat untuk hidup). Death instinct mengarah pada penghancuran diri pribadi dan orang lain dan life instinct merupakan kemampuan manusia untuk mempertahankan diri agar tetap hidup. Setiap orang tidak dapat melepaskan dari kedua hal ini. Oleh karenanya, diperlukan suplimasi (pelepasan) atas dorongan-dorongan manusia tersebut. Pelepasn tersebut bisa dalam bentuk apa saja.

Sementara Thomas Hobbes (lahir di Malmesbury, Wiltshire, Inggris, 5 April 1588 – meninggal di Derbyshire, Inggris, 4 Desember 1679 pada umur 91 tahun) berpendapat bahwa kekerasan merupakan keadaan alamiah manusia. Dalam keadaan ini, menurutnya, manusia secara alamiah dapat menjadi buas, kasar, jahat, pendek pikir.

Lain halnya dengan Hobbes, Jean Jacques Roesseau, seorang pemikir Perancis membayangkan manusia sebagai ciptaan yang baik, spontan, dan diliputi rasa cinta kasih. Oleh karenanya, jika manusia melakukan kekerasan, hal itu disebabkan oleh rantai peradaban yang mengubahkannya menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang.

Dalam pandangan Herbert Marcuse (lahir di Berlin, Jerman, 19 Juli 1898 – meninggal di Starnberg, 29 Juli 1979 pada umur 81 tahun), seorang filsuf Jeraman-Yahudi, ataupun Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun), keduanya malah melihat kekerasan dari sudut ekonomi. Menurut keduanya, sistem kapitalisme yang menjerat orang sehingga menderita. Kesenjagan ekonomi ataupun pendewaan ekonomi memang kadang membuat kekerasan terjadi di antara manusia.

Akan tetapi terlepas dari apakah manusia itu dasarnya baik atau jahat yang jelas manusia mempunyai kepentingan dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Memang tidak ada masalah jika manusia mampu memenuhi segala keinginannya. Akan tetapi jika tidak terpenuhi, maka akan timbul berbagai permasalahan. Dalam memenuhi kebutuhannya, kadang terjadi gesekan, perbenturan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Inilah awal konflik, yaitu perbenturan kepentingan. Konflik tidak hanya terjadi antar individu, namun dapat mengarah pada konflik antar kelompok, bahkan sampai antarnegara.

Begitulah realitas kehidupan. Berbagai kepentingan saling berseliwerang. Namun yang terpenting adalah bagaimanapun konflik terjadi, seharusnya tidaklah berujung pada kekerasan. Sekaitan dengan persoalan Pemilukada, bagaimana pun pertarungan terjadi, haruslah saling memanusiakan. Kompetisi haruslah senantiasa berada dalam kerangka saling memanusiakan. Konflik yang berujung pada kekerasan dalam Pemilukada merupakan  sesuatu yang memilukan. 

Jika ditelusuri secara mendalam, maka yang sesungguhnya menjadi problem dari konflik yang berujung pada kekerasan dalam Pemilukada adalah proses Pemilukada yang belum menjamin demokrasi berjalan pada jalur yang benar. Maksud saya adalah belum adanya jaminan Pemilukada berjalan secara jujur dan transparan, akuntabel dan berkeadilan. Hal ini berarti semua calon seharusnya memegang komitmen untuk melakukan tindakan yang jujur di dalam Pemilukada. Harus ada fakta integritas tentang Pemilukada yang jujur, adil, langsung dan bebas rahasia.

Fakta integritas yang saya maksud tentu bukan hanya di atas kertas, akan tetapi harus menjadi landasan moralitas di dalam proses Pemilukada. Dan juga yang terpenting adalah penyelenggara pemilihan harus menjaga netralitas dan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, segala elemen yang terlibat dalam Pemilukada dapat menunjukkan niat yang baik dalam berdemokrasi.

Kiranya, memang diperlukan pendewasaan dan niat baik semua pihak agar kekerasan di dalam pelaksanaan Pemilukada bisa terhindarkan. Dengan demikian proses tersebut menjadi tonggak demokrasi yang prospektif di masa yang akan datang. Selain itu, politik uang dan abuse of power yang sering menjadi masalah di dalam Pemilukada juga bisa dihindari. Jika hal itu terjadi tentu saja bisa menjadi catatan yang menyedihkan di dalam pelaksanaan Pemilukada dan kehidupan demokrasi yang kita impikan hanya menjadi utopia.

Dengan demikian, demokrasi akan dapat menjadi instrumen yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika semua elemen, baik peserta termasuk pendukung maupun penyelenggara demokrasi melakukannya dengan baik. Semuanya seharusnya berjalan sesuai dengan etika politik yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilukada. Tanpa itu, kehidupan demokrasi yang dibangun selama ini dengan susah payah hanya akan menjadi pseudo demokrasi atau demokrasi semu.