Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Politik dan Pseudo Kebenaran

Politik dan Pseudo Kebenaran, Politik dan Pseudo Kebenaran Kejujuran dan kebenaran akan menjadi perhiasan, seperti investasi emas, intan, berlian, perhiasan
MEMBANGUN demokrasi, khususnya di republik ini memang menemui jalan panjang dan berliku, serta harus dibayar mahal. Akan tetapi, arus tersebut terus mengalir dan sedikit demi sedikit memenuhi alam berpikir rakyat Indonesia. Terasa begitu kuat dan teramat sulit untuk membendungnya. Karenanya, kita memang butuh kesabaran yang luar biasa menghadapi proses demokratisasi itu di tengah krisis politik yang menimpa bangsa ini.

Proses demokrasi di republik ini memang telah berjalan, terutama sejak reformasi bergulir yang ditandai dengan jatuhnya kepemimpinan Soeharto dan “runtuhnya” dominasi kekuasaan Orde Baru. Kendati orang-orang yang hidup dan berkuasa pada masa Orde Baru kini masih mendominasi kekuasaan, paling tidak mainstream berpikir masyarakat tentang kediktatoran sebuah kepemimpinan perlahan-lahan bergeser ke arah demokrasi.

Demokrasi di Indonesia mungkin belum berjalan stabil. Berbagai pandangan tentang demokrasi apa yang sebaiknya diterapkan di republik ini masih terus bertarung. Bahkan model pemerintahan kita pun masih terus mengalami perdebatan panjang antara sistem presidensial dan parlementer.

Dalam pergulatan itu, arah demokrasi liberal juga terus mengisi ruang-ruang berpikir rakyat Indonesia. Meski dianggap tidak sesuai dengan kehidupan budaya berbangsa dan bernegara kita, akan tetapi arus ini terus bergerak dan melahirkan berbagai cara berpikir; individualistik, kapitalistik, bahkan hedonistik.

Realitas ini memang merupakan tantangan besar disaat kita beramai-ramai ingin membentuk sebuah alam demokrasi yang sesuai dengan latar budaya kehidupan rakyat Indonesia. Karenanya, bagi siapa pun yang tak sabar menunggu proses demokratisasi itu berjalan, tentu akan mengalami frustrasi.

Realitasnya, rakyat di republik ini memang mulai muak dengan berbagai argumentasi yang senantiasa mengatasnamakan demokrasi. Berbagai argumentasi yang melakukan “pembenaran” dan bukan mencari “kebenaran” yang berlindung dibalik kata demokrasi dan Hak Asasi Manusia banyak bersebaran di berbagai media, bahkan pada momen-momen tertentu. Terlebih dalam konteks politik, carut marut yang mengatasnamakan demokrasi sangat jelas terlihat, terutama menjelang pemilukada atau pemilu.

Lihatlah di berbagai daerah di negeri ini. Lihat pula tingkah laku para pemimpin kita. Politik saling menjatuhkan lawan dalam konteks yang tidak wajar menjadi bagian dari permainan politik di negeri ini. para ulama atau tokoh-tokoh agama juga terkadang ikut larut di dalamnya. Dengan berbagai alasan, mereka melakukan pembenaran terhadap yang dilakukannya.

Berbagai rekayasa memang dianggap sah dalam melakukan aktifitas politik di alam demokrasi ini. Pada titik itu, setiap individu yang berpolitik merasa dirinya berada dalam wilayah kebenaran. Sebab demokrasi adalah kebebasan. Dan kebebasan dipahami secara salah sebagai hak untuk melakukan apa saja dalam politik. Padahal, etika dalam politik merupakan sukma dari alam demokrasi yang ingin kita bangun.

Mobilisasi, baik dengan atau tanpa bayaran juga merupakan merupakan salah satu contoh cara-cara yang tak beretika dalam berdemokrasi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, jika para ulama atau tokoh-tokoh agama dengan mudahnya terperangkap menerima iming-iming uang atau kekuasaan.

Konflik dan bahkan kekerasan menjadi pemandangan hampir setiap hari kita saksikan. Dan menyedihkannya, sebab sebagian besar terjadi karena alasan demokrasi. Kebenaran demokrasi senantiasa menjadi bahan perdebatan panjang, dan sering kali berujung pada kekerasan, pertumpahan darah, bahkan kematian.

Situasi politik di negeri ini sepertinya telah dipenuhi dengan, kecemasan, anomali, bahkan cara berpolitik yang jahat. Berbagai kasus pemilukada atau pemilu sangat jelas mempelihatkan kebobrokan dalam proses demokrasi yang akan kita bangun bersama. Tindakan-tindakan yang mengatasnamakan demokrasi yang tidak demokratis banyak dipertontonkan. Dan yang tragis, justru semua itu dilakukan oleh orang-orang yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan akan menjadi pelakukan, terlebih pemberi contoh bagaimana berdemokrasi yang baik. Tetapi mereka justru menjadi penghancur bagi demokrasi yang baru saja tumbuh.

Akibatnya, rakyat yang selama ini ingin menumbuhkan kepercayaan terhadap demokrasi sebagai sebuah harapan setelah mengalami alam kediktatoran dan para pemimpin di negeri ini sebagai pelaku utama dan contoh bagaimana berdemokrasi yang baik, malah menjadi apatis. Rakyat perlahan-lahan mengalami kemerosotan kepercayaan terhadap individu-individu yang berakibat pada lembaga-lembaga politik ataupun pemerintahan.

Rakyat kemudian berpikir bahwa politik ternyata hanya berisi ambisi untuk mencapai kekuasaan dan bagaimana cara-cara mempertahankan dan memperebutkannya. Bahkan politik tidak lagi mengenal etika dan moralitas, sehingga setiap orang menjadi bebas dalam menjalankan ambisi politiknya. Kebenaran pun sering diputar-balikkan. Dan rekayasa menjadi senjata ampuh untuk saling menjatuhkan lawan-lawan. Politik uang menjadi penghias yang sangat menawan dalam mencapai ambisi.

Akhirnya, pengetahuan dan pandangan masyarakat bahwa politik itu kotor kini betul-betul menjadi kenyataan. Tindakan-tindakan seperti para mafia, gangster atau bahkan zombie menjadi biasa dalam alam demokrasi kita. Saling menyudutkan, saling caci, bahkan saling serang secara membabi-buta menjadi permainan yang dianggap wajar.

Bahkan rakyat pun kemudian memahami betapa prilaku orang-orang yang bergelut dalam dunia politik hanyalah senantiasa berusaha mencari kelemahan atau kekurangan lawan. Dengan begitu mereka kemudian dapat menyudutkan atau menyerang lawan dari berbagai sudut. Sungguh jauh dari sikap fair, etika dan moralitas, terutama yang bersumber dari ajaran-ajaran agama mana pun.

Sungguh begitu sulit kita membangun demokrasi yang benar dan sehat dengan prilaku berpolitik seperti itu. Etika dan moralitas menjadi sesuatu yang terpinggirkan. Keduanya seperti teralienasi dalam runag-ruang politik yang dibangun oleh bangsa ini. Karenanya, sungguh sulit untuk keluar dari krisis panjang demokrasi yang kita bangun.

Kebenaran dalam dunia politik kita sesungguhnya merupakan sesuatu yang sering disamarkan, diputar-balikkan, diperjual-belikan bahkan di kuburkan dalam-dalam. Kebenaran politik yang penuh dengan kamuflase. Dan rakyat pun kemudian disuguhi oleh kebenaran-kebenaran semu. Sebuah pseudo kebenaran yang menggelindingkan rakyat ke dalam pemahaman yang paling dangkal.

Karenanya, kesungguhan untuk membangun cara-cara berpolitik yang beretika harus terus digalakkan dan diperjuangkan. Sekaligus menjauhkan diri dari cara-cara berpolitik yang biadab. Segala persoalan yang dapat mengotori alam demokrasi kita, seperti politik uang untuk saling menghancurkan juga harus dihentikan. Karena cara seperti itu tidak akan melahirkan kemurnian aspirasi. Bahkan bisa mengakibatkan kebenaran menjadi absurd.

Sungguh elok wajah perpolitikan kita, jika segala manupulasi kebenaran dihentikan. Di sinilah rakyat sangat berharap, kebenaran di alam demokrasi, haruslah ditempatkan pada posisi yang sesungguhnya. Dan etika serta moralitas harus menjadi penjaga yang kuat untuk membangun demokrasi yang baik dan bermartabat di republik ini.