Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Monumen Andi Jemma: Kontinuitas Simbolik Sejarah Perjuangan Rakyat Luwu

Oleh Idwar Anwar

Sejarah merupakan keseluruhan peristiwa, baik yang dibangun oleh rasionalitas maupun irrasionalitas, yang di dalamnya manusia dan lingkungan sosialnya berdialektika dan membangun kesadaran-kesadaran tersendiri dalam membentuk sebuah tatanan kehidupan. Dalam banyak hal sejarah telah menjadi sebuah ruang yang dibangun oleh manusia yang kemudian melahirkan berbagai pandangan yang diyakini dan kemudian tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Seperti yang dikemukakan oleh Christoper Lloyd yang diilhami oleh Anthony Giddens, bahwa sejarah adalah hasil interaksi antara individu atau kelompok sosial dengan struktur sosial. Perubahan sosial atau sejarah adalah upaya manusia ataupun suatu kelompok sosial (peristiwa) yang berhasil mengubah struktur sosialnya. [3]

Sejarah pada dasarnya adalah sebuah ruang dan proses yang terbuka dengan berbagai kemungkinan di masa mendatang. Dalam sejarah, manusia bukan hanya sekedar alat bagi perwujudan sebuah gagasan, tetapi sejarah justru berawal dan berakhir pada manusia yang memiliki kebebasan dan kemampuan untuk mengatur masa depannya.

Dalam pandangan lain, Hegel melihat bahwa sejarah merupakan suatu proses yang rasional dan sebab itu universal. Ini berarti bahwa makna sejarah yang dikemukakannya itu tidak saja menyangkut bangsa-bangsa tertentu atau lapisan sosial tertentu, tetapi juga menyangkut setiap orang yang ada, pernah ada, yang akan ada; tidak ada pengecualian.

Selain itu, Hegel juga melihat bahwa proses sejarah umat manusia secara keseluruhan itu menuju tujuan tertentu atau sejarah yang “terarah”. Dan bahwa proses ke arah tujuan tertentu itu berlangsung secara dialektis. Proses dialektika ini memungkinkan hal-hal yang tidak rasional dari masa-masa tertentu dikoreksi atau dilenyapkan ketika menuju tahapan yang lebih baik.

Dalam proses sejarah, utamanya dalam kondisi kekinian (globalisasi) terdapat dua faktor yang sesungguhnya bertentangan namun sangat mempengaruhi arah sejarah yakni faktor yang bersifat material dalam bentuk perkembangan ekonomi yang pada gilirannya didorong oleh ilmu pengetahuan, dan faktor yang bersifat spiritual. Dalam pandangan falsafah Plato, faktor spiritual ini biasa disebut dengan istilah “thymos” yaitu keinginan untuk diakui, dihargai, persamaan hak.

Dua faktor tersebut berlangsung dan saling mempengaruhi dengan faktor-faktor lain dalam merumuskan arah sejarah. Proses sejarah berlangsung terus menerus dalam ruang-ruang kesadaran setiap individu yang terus berdialektika dengan lingkungan alam dan sosialnya.

Proses sejarah individu-individu bergerak bersamaan dengan proses sejarah sebuah komunitas atau bangsa yang berada dalam lingkungan dimana individu-individu itu berinteraksi. Individu-individu (toko-tokoh) dalam proses interaksi tersebut tentunya akan melahirkan peristiwa-peristiwa (atau sebaliknya) yang kemudian dijustifikasi sebagai sesuatu yang heroik dan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi eksistensi suatu kelompok atau suatu bangsa.

Dari sinilah kemudian lahir tokoh yang berada dan menggerakkan sebuah peristiwa atau sebaliknya sebuah peristiwa yang kemudian melahirkan tokoh yang kemudian dianggap sebagai pahlawan. Tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa besar dalam ritme sejarah kemudian oleh masyarakat (kelompok) dikekalkan dalam ingatan masyarakat sebagai sesuatu yang pantas untuk selalu dikenang atau diperingati.

 

Monumen Sebagai Realitas Simbolik

Monumen sebagai bagian dari proses kebudayaan masa lampau yang telah diformat ulang dalam konteks kekinian, telah menghadirkan semacam rumusan keniscayaan dalam proses sejarah sebuah kelompok (bangsa). Keberadaannya kemudian menjadi bagian terpenting untuk menancapkan (membangun) semacam tugu ingatan bersama (collective memories) yang akan dikenang dari generasi ke generasi sepanjang masa.

Realitas simbolik ini menjadikan suatu masyarakat atau bangsa “terhipnotis” dan larut dalam sebuah ruang imajiner yang akan berdampak pada proses mempersepsi sebuah peristiwa atau seorang tokoh. Dengan demikian, monumen (tugu) kemudian dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam membangun kerangka kesadaran berbangsa dan bernegara terhadap pentingnya sejarah dan pahlawan-pahlawan yang dijustifikasi telah memberikan kontribusi besar bagi suatu bangsa.

Meski hal itu benar, namun tidaklah kemudian masyarakat “secara tak sadar” beramai-ramai menafikan realitas simbolik lain yang mungkin memiliki ruang gerak yang lebih luas dan mampu memberi ruang-ruang tersendiri dalam ingatan masyarakat. Realitas simbolik tersebut, misalnya buku-buku atau media lain yang mampu menghadirkan sebuah peristiwa atau seorang tokoh dalam bentuk yang lebih dinamis.

Monumen hanyalah bagian terkecil dari proses penanaman realitas simbolik dalam benak masyarakat. Memang dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia dengan dinamika kebudayaannya, kita masih dapat menemukan berbagai realitas simbolik yang dibangun berabad-abad lampau dengan semangat zamannya sendiri. Mesir, misalnya, dengan bangunan piramidnya yang dibangun dengan kekokohan tersendiri membawa kita pada sebuah proses sejarah panjang dari bangsa Mesir. Demikian pula dengan realitas simbolik lainnya yang lebih modern, seperti Patung Liberty di Amerika yang akan mengingat kita pada keberadaan bangsa Perancis yang menjajah Amerika Serikat.

Hal yang sama juga kita temukan di Indonesia, seperti prasasti, tugu dan bangunan-bangunan simbolik lainnya, baik dalam konsep lama maupun modern. Walaupun demikian, kebudayaan patung, tugu atau monumen bukalah sebuah keharusan, meski juga diperlukan. Namun yang terpenting adalah kontinuitas simbolik tersebut harus tetap dijaga. Monumen adalah bagian yang cukup penting sebagai sebuah realitas simbolik sejarah dan kultur sebuah bangsa, namun tanpa harus menafikan unsur-unsur simbolik lainnya yang lebih memiliki mobilitas yang tinggi.

 

Kontinuitas Simbolik Semangat Andi Jemma

Andi Jemma dalam sejarah perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia memegang peranan yang sangat penting, bukan hanya di Luwu, Sulawesi Selatan, tetapi juga di Indonesia. Pada masa itu, Andi Jemma juga menjabat sebagai Datu Luwu yang secara kultural menjadikan Andi Jemma semakin berada pada posisi strategis dalam perjuangan.

Andi Jemma pada masanya dikenal sebagai pemuda yang memiliki bakat yang luar biasa dan tidak sungkan-sungkan bergaul dengan masyarakat biasa. Sikap Andi Jemma tersebut dipandang sangat berbahaya oleh Belanda dan para bangsawan yang memihak kepada Belanda. Itulah sebabnya, beberapa bangsawan antek-antek Belanda ini berusaha menekan keberadaannya. Pendidikan Andi Jemma pun dibatasi oleh pihak Belanda dengan hanya mengizinkan sekolah pada Inlandsche School (IS, Sekolah Melayu, tahun 1908-1913).

Dalam tekanan Belanda, pada usia 17 tahun Andi Jemma diangkat sebagai Sulewatan Ngapa, di wilayah Luwu Tenggara. Dan dalam usia 24 tahun, Andi Jemma kembali diangkat menjadi Kepala Distrik Wara atau Kota Palopo. Selain itu, ia juga aktif di organisasi pergerakan. Dalam masa-masa tersebut pihak Belanda tak pernah diam. Mereka terus mengawasi gerak-gerik Andi Jemma.

Pengawasan dan pengkucilan terhadap Andi Jemma mencapai puncaknya ketika Andi Kambo (Ibunda Andi Jemma) meninggal dan tahta kedatuan Luwu mengalami kekosongan. Saat itu berbagai intrik pun banyak terjadi dan berusaha menyingkirkan Andi Jemma di pentas politik Kedatuan Luwu. Belanda dan para bangsawan yang berpihak pada Belanda berusaha merebut kekuasaan. Belanda berusaha memasukkan bangsawan-bangsawan yang berpihak kepadanya untuk dapat menjadi Datu. Mereka mengatur siasat memotong langkah Andi Jemma untuk menduduki tahta Kedatuan Luwu.

Namun karena derajat kebangsawanannya (sebagai Putra Mahkota/Cenning) ditambah kedekatannya dengan rakyat Luwu, maka Andi Jemma –yang memang berhak menduduki tahta Kedatuan Luwu-- akhirnya berhasil duduk sebagai Datu Luwu menggantikan ibundanya, Andi Kambo. Dukungan rakyat Luwu, utamanya rakyat Rongkong yang rela menumpahkan darah jika Andi Jemma tidak memegang tahta Kedatuan Luwu, menjadikan posisi Andi Jemma semakin kuat.

Sebagai penguasa yang mendapat dukungan yang kuat dari rakyat Luwu, Andi Jemma terus melakukan pembenahan terhadap struktur kedatuan Luwu, terutama para pembantu utamanya; Patunru, Pabbicara, Tomarilaleng, dan Balirante. Dengan penuh keberanian, Andi Jemma melakukan pembenahan dan menyingkirkan bangsawan-bangsawan yang berpihak kepada Belanda yang telah mendapat kedudukan penting dalam Kedatuan Luwu. Penggantian yang dilakukannya memang membawa dampak yang cukup besar pada jalan roda pemerintahan. Namun demikian, intrik untuk menjatuhkan Andi Jemma yang dilakukan oleh para bangsawan yang kecewa tersebut juga kian besar. Apalagi mereka mendapatkan dukungan dari Belanda.

Pada masa kemerdekaan, Andi Jemma kembali mendapat banyak tantangan. Perjuangan kemerdekaan yang telah dikobarkan di Pulau Jawa ternyata juga sampai di Luwu. Api kemerdekaan semakin bergejolak. Andi Jemma berada dalam posisi terjepit. Intrik untuk menjatuhkannya semakin besar, ditambah lagi desakan pemuda agar pihak Kedatuan Luwu segera mengeluarkan pernyataan untuk mendukung kemerdekaan.

Namun dengan semangatnya untuk lepas dari penjajahan yang terus berkobar, Andi Jemma pun menyatakan mendukung terhadap kemerdekaan RI. Dengan kemampuan politiknya, Andi Jemma juga tidak ingin salah dalam membuat keputusan. Meski belum ada pernyataan resmi dari kedatuan Luwu, namun melalui anak-anaknya (Andi Makkulau dan Andi Ahmad) serta beberapa orang kepercayaannya, Andi Jemma terus mengobarkan semangat kemerdekaan di Tana Luwu. Bahkan Andi Jemma adalah raja pertama di Sulsel yang menyatakan dukungannya secara terang-terangan untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menyatakan Luwu merupakan salah satu bagian dari NKRI. Dia pulalah yang memprakarsai diadakannya pertemuan antara raja-raja di Sulawesi Selatan.

Perjuangan dan pengorbanannya ternyata tidak hanya sampai pada masa merebut kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan pun ia masih dituntut untuk melakukan pengorbanan. Andi Jemma harus rela menjadikan Kedatuan Luwu, sebuah kerajaan terbesar dan tertua di Sulawesi Selatan, diubah statusnya menjadi hanya sebuah kabupaten tingkat II. Sebuah situasi yang sangat sulit bagi seorang penguasa yang harus rela melepas status kekuasaannya; kekuasaan kultural yang diwariskan secara turun dan telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Menghadapi situasi yang amat sulit ini, Andi Jemma kembali menunjukkan sikap patriotiknya. Ia pun rela memberikan daerah kekuasaannya dilikuidasi menjadi kabupaten dan menjadi Bupati. Kondisi perubahan pemerintahan tak membuatnya menjadi canggung. Ia mampu melalui masa-masa kritis tersebut dengan tenang. Baginya semua itu merupakan bagian dari pengorbanan yang harus ia berikan untuk bangsa Indonesia.

 

***

Mencermati pengorbanan dan semangat yang dikobarkan oleh Andi Jemma pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, tentulah dapat memberikan kita sebuah inspirasi betapa semangat patriotik seorang Andi Jemma telah menjadi starting point bagi perjuangan merekonstruksi arah sejarah sebuah bangsa.

Dengan demikian, Andi Jemma telah hadir dan menjelma menjadi simbol perlawanan yang seharusnya terus dijaga oleh masyarakat, khususnya rakyat Luwu. Nilai kejuangan yang dihadirkannya dalam setiap hati masyarakat Luwu pada masanya, sepatutnya ditarik dalam konteks kekinian dan terus diapresiasi dalam berbagai bentuk.

Adanya rencana pembuatan monumen untuk mengenang keberadaan Andi Jemma, meski bukanlah hal yang baru, namun diharapkan mampu menghadirkan semacam simbol keberlanjutan semangat Andi Jemma di tengah masyarakat Luwu. Pembuatan monumen atau semacamnya ini di beberapa daerah sejak kemerdekaan memang telah banyak bermunculan. Semuanya dilandasi oleh semangat ingin mengabadikan peristiwa atau sosok seseorang yang dianggap berjasa besar bagi kemerdekaan RI, khususnya bagi daerah yang bersangkutan. Karenanya, keinginan masyarakat dan pemerintah se-Tana Luwu untuk mengabadikan pula tokoh panutannya merupakan hal yang wajar sepanjang unsur-unsur pendukung lainnya juga tidak terlupakan.

Dengan adanya monumen tersebut, kesatuan simbolik perlawanan dan ikatan kultural yang ada pada diri Andi Jemma dapat menjadikan sosok yang telah dianugerahi Tanda Jasa sebagai Pahlawan Nasional ini semakin menempati tempat yang pantas di hati masyarakatnya. Tentunya kontinuitas simbolik tersebut harus terus mampu hadir dalam berbagai bentuknya, bukan hanya dalam bentuk monumen, tetapi juga dalam bentuk lain yang lebih dinamis dan memiliki daya mobilitas yang tinggi, seperti buku, dll.

Monumen sebagai salah satu realitas simbolik tentunya mampu merumuskan kedirian sebuah komunitas (bangsa) atau sosok tokoh dalam suatu proses sejarah. Dengan demikian, keberadaan Monumen Andi Jemma dapat menciptakan kontinuitas simbolik yang benar-benar dapat hadir dalam sebuah bangunan tugu ingatan bersama (collective memories) masyarakat Luwu.

 

Palopo, 29 Mei 2006



[1] Disampaikan pada Seminar Pembuatan Monumen Andi Jemma.

[2] Penulis dan Ketua Dewan Kesenian Palopo.

[3] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, diterbitkan oleh Penerbit Qalam dengan judul Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Mei 2001, hal, xiii-xiv.