Kakus
Cerpen Idwar Anwar
Dan semuanya menjadi aneh. Ada yang tak kumengerti saat tertimbun di dalamnya. Bau yang menggerogoti lubang hidungku laksana kalajengking yang menyengat tubuh. Tapi memang tak ada lebih yang istimewa, kecuali hanya bau yang terus menerjang tanpa pernah mau memberi ampun.
Hingga….
Suatu hari aku tertegun di depannya bersama 5 warga lainnya yang telah ada sebelum aku datang. Saat itu menjelang siang. Ada yang tiba-tiba kembali mengurai sebuah kenangan yang tersimpan di dalamnya. Sadis! Kengerian seketika begitu garang menerjang kesadaranku. Dinding-dinding yang ditumbuhi lumut dan langit-langitnya yang dipenuhi jaring-jaring laba-laba yang menggelayut tak menentu, semakin mempertegas semuanya.
Ada yang diam-diam hinggap, lalu pergi. Ada yang selalu bergegas menerobos kesunyiannya. Di antara pepohonan dengan dedaunan yang tumbuh begitu rimbun. Di antara kebisuan malam yang membutakan. Ada yang tak kumengerti tentangnya. Tentang keberadaannya yang akhir-akhir ini kerap merisaukan warga desa.
Siang itu, kembali sepotong mayat terbujur kaku di dalamnya. Sebuah kakus tiba-tiba kembali menjelma menjadi ribuan tanya. Selalu saja ada yang mengerjap, lalu pergi tanpa pernah mau pamit atau memberi kabar tentang sebuah kepergian yang abadi. Di dalamnya, ada yang tersimpan melalui duka yang menggelayut dilingkupi ribuan putaran laba-laba yang menggantung begitu duka.
Sebuah ketiadaan telah memberikan keniscayaan. Pada kebisuan yang merayap lalu terbang, ada yang tiba-tiba menyeruak kemudian lenyap. Di antara keterpakuan warga dengan tanda tanya besar yang menggelayut di kepala, ada yang diam-diam menjalari kesadaran mereka.
***Beberapa warga yang berkerumun di depan kakus satu-satunya di kampung Beru ini saling berbisik. Sesekali mereka meludah sembari menggeleng-gelengkan kepala lalu mengangkat bahu dengan mimik wajah kecut. Perempuan yang datang dan melihat mayat yang masih tak seorang pun yang berani menyentuhnya itu, menjerit dan membuang muka. Anak-anak yang ingin pula bergabung menyaksikan tubuh yang bersimbah darah, yang sebagian telah mengering itu, terpaksa harus mengurungkan niat. Beberapa orang dewasa menggiring mereka untuk menjauh dari tempat tersebut.
Aku dan beberapa warga masih berdiri. Tak seorang pun yang memiliki keberanian untuk memegang mayat itu, terlebih untuk mengangkatnya. Mayat tersebut sepertinya korban pembunuhan. Di tubuhnya terdapat dua lubang yang sepertinya bekas tusukan senjata tajam. Wajahnya tak dapat dikenali lagi karena darah yang menutupinya. Baju kaos putih bergambar Donal Bebek yang dipakainya, kini berubah merah oleh darah yang keluar dari dua lubang di tubuhnya.
Orang yang berkerumun di sekitar kakus pun semakin banyak. Suara kasak-kusuk masih terdengar. Ada yang menyarankan mayat tersebut dibawa ke kantor desa. Ada pula yang menginginkan dibawa ke mesjid, lalu disembahyangkan. Ada pula yang mengusulkan untuk memanggil polisi, “Biar mereka saja yang mengurusnya. Jadi posisi mayat tidak sampai terganggu untuk membantu penyelidikan polisi menemukan sebab dan pelaku pembunuhan itu,” ucap seorang warga. “Ya, betul. Nanti, bisa-bisa kita yang jadi tersangka. Biasanya ‘kan seperti itu,” timpal yang lain.
Akhirnya, hampir semua yang berdiri di tempat itu sepakat untuk memanggil polisi. Meski demikian, tak satu pun yang meninggalkan tempat tersebut. Semuanya seperti terpaku menyaksikan mayat itu. beberapa saat kemudian muncul Pak Desa bersama tiga orang hansip. Keduanya menyeruak di antara kerumunan warga yang masih terpaku di tempatnya. Setelah menyaksikan kondisi korban, Pak Desa memerintahkan seorang hansip untuk segera memanggil polisi.
“Mengapa tak ada yang memanggil polisi?”
Tak ada yang menjawab. Semuanya tiba-tiba diam. Suara-suara yang saling berbisik, seketika tak terdengar. Mulut mereka seolah terkunci. Pak Desa masih berdiri menanti jawaban. Tapi tak ada yang bersuara.
“Sudah. Sudah. Semuanya menyingkir dari tempat ini, biar polisi tidak kesulitan menemukan bukti-bukti! Ayo cepat!” Dua orang hansip, bersama Pak Desa dan dua warga lainnya yang baru datang, berusaha menggiring warga yang masih berdiri terpaku untuk menjauh dari lokasi mayat tersebut.
Sesaat kemudian, sebuah mobil polisi berhenti di antara kerumunan warga. Beberapa polisi turun dan langsung menuju ke tempat mayat ditemukan. Beberapa di antaranya membentangkan police line untuk mengisolasi tempat kejadian. Di dalam kakus yang pintunya telah terbuka lebar, sesosok tubuh terlentang dengan tubuh bersandar di dinding kakus yang dipenuhi lumut. Kepalanya menjuntai.
Warga yang berkerumun semakin banyak. Suara-suara yang keluar dari mulut mereka masih terdengar seperti suara kawanan tawon. Beberapa wanita yang ketakutan bergegas meninggalkan tempat dengan membawa anak-anak mereka, agar tak melihat kejadian yang mengerikan itu.
***
Saat matahari tepat berdiri di ubun-ubun, beberapa warga mulai meninggalkan tempatnya. Lokasi mayat ditemukan perlahan sepi. Mayat yang berada di dalam kakus telah diangkat oleh polisi dan dibawa ke rumah sakit, setelah sebelumnya menyelidiki beberapa tempat yang dianggap dapat memberikan petunjuk untuk menyingkap kasus pembunuhan tersebut. Beberapa warga pun ditanyai bahkan ada beberapa di antara mereka yang dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Suasana kembali hening. Aku masih berdiri di depan kakus yang telah menyimpan tanda tanya besar di kepala. Kejadian seperti itu sebelumnya telah terjadi tiga kali. Sesosok mayat juga pernah terbujur di dalam kakus tersebut. Saat itu warga sangat ketakutan untuk membuang hajat di kakus tersebut. Mereka lebih senang membuang hajat mereka di pematang-pematang sawah atau di kebun. Meski pada akhirnya, mereka pun harus menggunakan kembali kakus tersebut. Namun, sampai saat ini pelakunya belum juga ditemukan. Aku kembali pesimis, pelaku pembunuhan itu akan dapat ditangkap.
Kakus yang merupakan bagian dari bangunan MCK yang dibangun di tengah-tengah desa itu, memang satu-satunya tempat yang biasa digunakan warga untuk membuang hajat. Bangunan MCK tersebut tidaklah terlalu luas. Satu kakus dan sebuah kolam besar, tempat orang-orang mandi dan mencuci.
Karena peristiwa itu, MCK tersebut sangat jarang lagi dipakai warga. Namun, setelah beberapa lama kurang terpakai, akhirnya MCK tersebut kembali ramai. Orang-orang seperti melupakan peristiwa mengerikan yang pernah terjadi. Warga desa pun kembali menggunakan MCK yang dibangun oleh mereka dengan menggunakan dana bantuan pemerintah, yang kabarnya sebesar 30 juta rupiah, untuk tempat mandi, mencuci dan membuang hajat tersebut.
Namun, sejak ditemukannya kembali mayat yang terbujur di dalam kakus, warga kembali resah. Mereka kembali merasa takut untuk pergi mandi, mencuci terlebih untuk membuang hajat. Sejak kejadian itu, MCK kembali sepi, apalagi jika malam datang. Orang –orang hanya berani mengambil air sebanyak-banyaknya di pagi hari sampai menjelang sore. Dan untuk buang hajat, kebiasaan warga sebelum MCK dibuat, kembali dilakukan. Mereka lebih senang membuang hajat di kebun atau di pematang-pematang sawah, itupun dengan perasaan was-was.
Beberapa hari berselang, warga desa pun semakin dibuat resah dengan berhembusnya cerita-cerita mengenai mayat yang ditemukan tersebut. Cerita itu berkembang terus dan menjadi kepercayaan warga. Ada cerita tentang adanya mahluk halus yang sangat jahat yang menghuni kakus. Menurut cerita yang berhembus, makhluk itu sengaja membawa mayat-mayat tersebut untuk dihisap darahnya. Ada juga cerita bahwa beberapa warga pernah mendengar suara-suara jeritan yang berasal dari kakus itu. Bahkan masih banyak lagi cerita yang terus berkembang dan mengisi perbincangan sehari-hari masyarakat.
Akhirnya kakus tersebut perlahan-lahan menjelma menjadi tempat yang menakutkan. Warga semakin enggan untuk pergi ke sana. Untuk mengambil air pun, mereka harus bersama-sama. Paling sedikit empat orang, baru mereka berani pergi mengambil air. Jika malam turun, suasana semakin menakutkan. Suara-suara binatang malam dan lolongan anjing semakin menambah keseraman. Warga yang biasanya ronda hanya empat orang, kini bertambah menjadi delapan.
Suasana desa, sejak ditemukannya mayat untuk keempat kalinya di kakus itu kian mencekam. Apalagi di malam hari. Jika pagi menjelang, sebuah cerita kembali tercipta, lalu tersebar seperti angin yang berhembus. Dan hari itu pula, di rumah-rumah, di sawah-sawah, atau di kebun-kebun, cerita baru itu terus dibicarakan.
“Aku melihatnya sedang mandi di MCK. Bajunya compang-camping dengan rambut yang acak-acakan,” kata seorang warga yang melihat mayat yang ditemukan tempo hari itu, suatu hari ketika sedang mencangkul di sawah.
“Betul kamu melihatnya?” kata yang lain.
“Betul! Bahkan aku mendengar suara-suara aneh.”
Lalu cerita itu pun terus berkembang. Dan esoknya di saat matahari kembali menampakkan cahayanya, sebuah cerita pun kembali muncul. Seorang warga datang dengan cerita barunya. Katanya semalam ia mendengar suara jeritan. Dan setelah itu, terdengar suara tangisan bayi. “Lama sekali suara tangisan bayi itu terdengar,” katanya dengan mimik serius.
Lalu, pagi itu suasana kembali gempar. Cerita itu seperti menjadi kenyataan. Beberapa warga yang bermaksud mengambil air tanpa sengaja melihat ke pintu kakus yang sedikit terbuka dan dua buah kaki terlihat dengan jelas. Suara jeritan pun bersahutan. Pagi yang indah seketika berubah menjadi kengerian. Beberapa warga kembali berkumpul. Aku pun tak mau ketinggalan.
Setelah menerobos di celah-celah kerumunan warga, aku berhasil mendekati kakus. Dengan memberanikan diri, pintu kakus kubuka lebar. Suaranya menderit. Di lantainya, seonggok janin yang masih merah, terlentang tanpa terbungkus sehelai benang pun. Tali pusarnya belum dipotong. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan yang terlihat. “Ia telah mati,” pikirku.
Tak lama berselang, sebuah mobil polisi tiba. Beberapa polisi langsung menuju ke arah kakus, sementara yang lainnya sibuk mengarahkan warga untuk menjauh dari lokasi. Penyelidikan pun dilakukan. Tak ada tanda-tanda yang dapat dijadikan alat untuk mengungkap kasus tersebut. Beberapa warga pun dimintai keterangan, termasuk orang yang pertama kali menyebarkan cerita tentang adanya suara bayi yang didengarnya.
Tapi semuanya sia-sia. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Telah lima kali ditemukan mayat di dalam kakus. Dan semuanya terjadi hanya berselang sebulan atau lebih. Lama aku tertegun di beranda rumah. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini?” pikiranku terus melayang. Tapi tak ada jawaban sedikit pun.
***
Setelah kejadian itu, ketakutan warga semakin memuncak. Hingga suatu hari diadakan pertemuan di balai desa untuk membahas beberapa peristiwa yang telah terjadi, utamanya kakus yang akhir-akhir ini menjadi tempat beberapa mayat ditemukan. Sebagian warga menganggap tempat tersebut sangat angker dan mendatangkan bencana, sehingga harus dibongkar.
“Tempat itu sangat tidak baik.”
“Ya, mungkin saja itu benar. Tapi, sebelumnya saya minta maaf, sebab menurut saya bisa saja proses pembangunan MCK itu, ada yang salah,” kata salah seorang warga menimpali.
“Maksud, Anda?” tanya Pak Lurah agak heran. Semua warga yang hadir pun melongo.
Udin yang mengeluarkan pernyataan itu, sejenak terdiam. “Ya. Sekali lagi saya mohon maaf. Menurut saya, dalam proses pembangunan MCK tersebut mungkin telah terjadi tindak korupsi.”
Hampir semua yang hadir seketika terbelalak dengan mulut menganga. Hawa kutukan seketika seolah menjalari tubuh mereka. Terlebih Pak Lurah, wajahnya nampak tegang, seperti tersinggung. “Jadi Anda menuduh yang menangani pembanguan itu melakukan korupsi?” suaranya meninggi. “Balai desa ini juga dibangun dengan menggunakan anggaran yang sama dan orang yang sama. Tapi kok, mayat-mayat itu tidak berada di sini? Alasan itu mengada-ada.”
“Sekali lagi saya mohon maaf, jangan sampai ada yang tersinggung. Ini hanya perkiraan saya. Wajar kan kalau saya berpikir demikian. Apa bedanya dengan yang lain, yang berpendapat bahwa tempat MCK tersebut yang tidak baik.”
Beberapa saat ketegangan menyelimuti. Pak Lurah dan beberapa aparatnya benar-benar merasa tersinggung. Namun, akhirnya suasana panas itu, reda. Masing-masing dapat mengendalikan diri. Hampir semua warga pun sepakat untuk membongkar MCK itu dan mencari lokasi lain.
Setelah disepakati lokasi, pendanaan dan waktu pembongkaran serta pembangunan MCK baru, warga desa pun pulang ke rumahnya masing-masing. Sebuah harapan baru seakan terbentang di hadapan mereka. Wajah-wajah mereka nampak ceria. Aku hanya terdiam.
Sesuai waktu yang ditentukan, beberapa warga mulai membongkar bangunan MCK. Aku dan dua warga lainnya bertugas mencari bahan bangunan yang dibutuhkan di kota. Dengan dana swadaya warga, beberapa bahan bangunan yang dibutuhkan itu pun diangkut ke desa. Tidak sampai sehari bangunan itu pun rata dengan tanah. Tak satu pun bahannya yang dapat digunakan.
Kulihat wajah-wajah mereka yang bekerja begitu ceria. Tak ada lagi ketakutan yang tergurat. Mereka membongkar bangunan MCK begitu semangat. Setelah semuanya selesai, wajah mereka nampak semakin berseri. Sebuah kutukan seperti telah hilang dari lingkungan mereka.
Berkat kerja keras warga, bangunan MCK baru pun berdiri. Semuanya nampak puas. Tak ada lagi hawa kutukan yang mereka rasakan. Semuanya sirna bersama runtuhnya banguanan MCK yang lama. Dan setelah diresmikan, MCK itu pun langsung digunakan. Beberapa warga begitu cerianya mengguyurkan air di tubuhnya, sedang lainnya sibuk mencuci.
***
Sebulan lebih berlalu. Tak ada lagi cerita tentang mahluk halus yang kejam atau suara-suara mengerikan yang terdengar di malam hari. Di sawah-sawah, di kebun-kebun dan di rumah-rumah. Tak ada lagi. Semuanya sirna oleh keceriaan warga dengan adanya MCK yang mereka bangun dari hasil keringat mereka. Semuanya kembali seperti semula. Tenang. Tenteram.
Hingga….
“Ada mayat ditemukan! Ada mayat ditemukan!” Bunyi kentongan bertalu-talu. Malam masih menggelayut. Aku terbangun dengan tergesa-gesa. Kubuka pintu dan melihat beberapa warga sedang berjalan tergesa-gesa menuju Balai Desa. Aku pun bergegas bergabung bersama mereka.
“Apa yang tejadi?” tanyaku.
“Ada mayat ditemukan!”
“Di mana?”
“Di Balai Desa.”
“…???!!!”
Makassar, 27 April-14 Mei 2001
Tulisan ini telah dimuat di Harian Fajar