Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jejak Langkah Idwar Anwar Sebagai Penulis, Budayawan, Peneliti, Penyair, Seniman, dan Politikus yang Tak kenal Lelah

Jejak Langkah Idwar Anwar Sebagai Penulis, Budayawan, Peneliti, Penyair, Seniman, dan Politikus yang Tak kenal Lelah
Magfira Ramadani

PUSTAKAWANMENULIS.COM - Idwar Anwar merupakan penulis yang lahir di Palopo pada tanggal 6 Oktober 1974 ia juga menghabiskan masa kecil dan remaja di Palopo. Seperti yang diketahui bahwa kebiasaan menulis belum mengakar kuat di masyarakat Palopo. Hal ini mengakibatkan minimnya karya-karya monumental yang dihasilkan oleh penulis-penulis Palopo. Periode Sanusi dan Musytari menandakan era kejayaan sastra di Palopo diikuti oleh periode vakum dalam penerbitan karya lokal. Baru pada tahun 2000-an muncul kembali karya pengarang Palopo seperti Idwar Anwar yang mengangkat kembali teks Luwu yang kaya akan misteri dan menjanjikan cerita untuk ditulis.

Idwar Anwar menunjukkan semangatnya dalam berkarya dengan melahirkan novel-novel yang terinspirasi dari I La Galigo. Tak hanya itu, ia juga mendedikasikan waktunya untuk memajukan sastra di sekolah dengan menerbitkan antologi cerpen karya para siswa di sebuah sekolah menengah kejuruan di Palopo. Stigma bahwa Palopo kurang familiar dengan buku dan budaya tulis-menulis dapat mulai dihilangkan hari ini. Para penulis lokal seperti Idwar Anwar menunjukkan bahwa Palopo memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang layak untuk dilestarikan melalui karya tulis dan membuka jalan bagi generasi baru untuk mengekspresikan diri dan berkontribusi pada budaya kota Palopo.

Idwar Anwar menempuh pendidikan di SDN 77 Palopo,SMPN 3 Palopo,SMAN 2 Palopo dan hijrah ke Makassar untuk kuliah di Universitas Hasanuddin tepatnya di Fakultas Sastra kini disebut Fakultas Ilmu Budaya. Ia mengikuti banyak organisasi bahkan sering mengikuti demonstrasi di jalanan. Saat itu ia bergabung dengan Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD) Makassar, salah satu organisasi yang aktif menuntut pencopotan Soeharto dari jabatan Presiden RI. AMPD Makassar merupakan salah satu organisasi mahasiswa yang berani dan gigih dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Dia pernah memegang berbagai jabatan penting, seperti Presidium Pusat Aktivis 98 (PENA 98), Pengurus KNPI Sulsel, Sekretaris Panitia Seminar Internasional La Galigo, Tim Perumus Temu Budaya Nusantara Dialog Budaya Nusantara, Peserta Mufakat Budaya Indonesia, dan Dosen Luar Biasa di almamaternya. Saat ini, dia aktif sebagai Pembina Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Sulsel.

Jejak Langkah Idwar Anwar Sebagai Penulis, Budayawan, Peneliti, Penyair, Seniman, dan Politikus yang Tak kenal Lelah

Selain tergabung dengan beberapa organisasi ia juga merasakan bahwa produktifitas menulisnya semakin aktif dan sering menghiasi halaman-halaman media arus utama di Makassar, seperti Fajar dan Pedoman Rakyat. Kedua surat kabar harian ini menyediakan ruang khusus untuk karya sastra, meliputi cerpen, puisi, dan esai, yang dimanfaatkannya dengan optimal. Naluri menulis juga tersalurkan di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan dan redaktur di beberapa media.

Ia memiliki kebiasaan membaca buku di luar kurikulum pendidikan sejak usia muda dan menunjukkan bakat menulis yang menjanjikan dibuktikan dengan dipublikasikan tulisannya sejak SMA. Saat ini, ia semakin produktif dalam menghasilkan karya tulis, mulai dari esai, puisi, cerpen, cergam, ensiklopedia, sejarah, hingga novel yang diterbitkan di berbagai media cetak dan online. Ia juga aktif menjual bukunya di teman kelasnya bahkan dosennya, terdapat satu pengalaman yang tentunya membuatnya menjadi penulis yang lebih baik yaitu salah satu dosen berkata bahwa buku yang ia tulis tidak kelihatan jika dibandingkan dengan buku lain yang memiliki ketebalan yang cukup membuat bukunya tidak terlihat sehingga ia menerbitkan buku-buku selanjutnya diatas 150 halaman. Adapun pada 2018 ia sukses menulis lebih dari 40 judul buku karyanya yang telah diterbitkan. Di antaranya Merah di Langit Istana Luwu (2017), Zikir (Kumpulan Sajak, 1997)  dan Kado Cinta (Kumpulan Sajak, 2010).

Ia termotivasi untuk menulis karena ingin mencapai tujuan personal dan profesional. Di satu sisi, dia ingin menjadi terkenal dan mendapatkan pengakuan atas karyanya. Di sisi lain, dia ingin memastikan bahwa tulisannya memiliki kualitas yang layak untuk dipublikasikan di media. Dan akhirnya, dia berhasil mencapai kedua tujuan tersebut dengan karyanya yang dimuat di media mainstream. Perasaannya bercampur aduk saat pertama kali melihat tulisannya terbit di koran harian Makassar. Rasa bangga dan bahagia menyelimuti dirinya. Pengalaman ini semakin memotivasinya untuk terus berkarya dan menuangkan ide-idenya melalui tulisan. Apalagi saat itu, ia sedang berusaha memikat hati seorang wanita bernama Fitri atau Andi Nurfitri Basalong yang kini telah menjadi istrinya.

Idwar Anwar, sang maestro literatur, telah menuangkan pengetahuannya yang luas dalam puluhan buku monumental. Di antara karyanya yang gemilang adalah Buku Ensiklopedi Sejarah Luwu, Buku Ensiklopedia Kebudayaan Luwu, dan trilogi novel La Galigo yang memukau. Idwar Anwar, sang maestro literatur, telah menuangkan pengetahuannya yang luas dalam puluhan buku monumental. Di antara karyanya yang gemilang adalah Buku Ensiklopedi Sejarah Luwu, Buku Ensiklopedia Kebudayaan Luwu, dan trilogi novel La Galigo yang memukau. Novel La Galigo terbagi menjadi tiga jilid, yaitu: Jilid I: La Galigo: Turunnya Manusia Pertama, Jilid II: La Galigo: Mutiara Tompoq Tikkaq, dan Jilid III: La Galigo: Lahirnya Kembar Emas. Pembagian ini didasari oleh ketebalan luar biasa dari setiap jilidnya. Buku Ensiklopedi Sejarah Luwu memiliki ketebalan xiv + 656 halaman, sedangkan Ensiklopedia Kebudayaan Luwu memiliki ketebalan xviii + 479 halaman. Novel La Galigo di sisi lain, terbagi menjadi tiga jilid: Jilid I setebal x + 310 halaman, Jilid II setebal vii + 342 halaman, dan Jilid III setebal viii + 246 halaman.

Karya Idwar Anwar bagaikan simfoni yang memukau, mengantarkan pembaca pada perjalanan menelusuri melodi sejarah dan budaya Luwu yang memesona. Ketebalan bukunya menjadi simbol dedikasi dan kecintaannya pada warisan leluhur. Bagi para pecinta seni dan budaya, karya-karyanya adalah sebuah mahakarya yang tak lekang oleh waktu dan sumber inspirasi yang tak pernah padam.

*Penulis bernama lengkap Magfira Ramadani akrab dipanggil Fira. Ia sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Makassar,Fakultas Bahasa dan Sastra,Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan tergabung di salah satu kelas yaitu kelas PBSI F.

Atas kebijakan redaksi, Tulisan ini tidak dilakukan pengeditan.